S
ejarah mencatat, empat pemilu yang sudah digelar sejak era reformasi menggunakan UU yang berbeda. Aturan main keempat pemilu itu pun berubah-ubah. Sebut saja soal cara menentukan pilihan. Dalam pemilu 1999-2004, pemilih menggunakan cara mencoblos, tetapi pada Pemilu 2009 diubah dengan mencontreng. Mencontreng kemudian dinilai kurang cocok dan kembali dengan cara mencoblos dalam Pemilu 2014.
Perjalanan perubahan UU Pemilu sejak era reformasi ini adalah semangat menyajikan penyederhanaan dari proses pemilu. Penyederhanaan yang dimaksud terkait pembatasan jumlah partai politik peserta pemilu dan jumlah partai di DPR. Untuk membatasi jumlah partai peserta pemilu digunakan mekanisme ambang batas pemilihan (electoral threshold).
Pekerjaan yang tak ringan selalu menghinggapi KPU selaku otoritas negara yang dibebankan untuk menjadi operator pemilu. Untuk Undang undang Nomor 7 Tahun 2017 misalnya, masih harus melewati fase gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak yang tidak puas dengan hasil UU Pemilu membawanya ke jalur pengadilan konstitusi.
Hal ini tentu saja menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama bagi penyelenggara pemilu. Padahal, tahapan-tahapan pemilu sudah harus dimulai sejak sekarang, mengingat waktu yang semakin mepet. Pembahasan anggaran, pembahasan format baru karena Pilpres dan Pileg yang serentak, sepatutnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, sesuai dengan amanat UU Pemilu yang baru.
Secara objektif, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum ini lahir karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PPU-XI/2013 Tentang Pemilu Serentak yaitu pemilu yang menggabungkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Eksekutif dalam satu hari H pemilihan (concurrent election). Adapun tujuan UU ini hadir dalam beberapa aspek ditujukan untuk mewujudkan penyelenggara pemilu yang kompeten dan kredibel, meningkatan kualitas rekrutmen politisi, membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif, dan responsif, menciptakan sistem partai terbatas serta memperkuat pemerintahan presidential.
Pemilu serentak pada tahun 2024 memang diprediksi memiliki kontradiktif dalam pelaksanaan. Tantangan manajemen untuk penyelenggraan pemilu serentak tahun 2024
sangat tinggi, yaitu bagaimana KPU melaksanakan secara demokratis dan berintegritas pemilu legislatif dan pemilu eksekutif yang dapat menggunakan hingga satu milyar suratsuara. Belajar dari KPU periode kemarin yang sukses melaksanakan pemilu 2019 dengan sejumlah pembaharuan pemilu seperti : penerapan tehnologi informasi dengan efektif seperti Sipol, sidalih, sidapil hingga situng yang dikelola dengan prinsip open goverment sehingga menghasilkan partisipasi publik yang sangat tinggi dan efektif. Namun, suksesnya pemilu 2019 pun masih menyisakan permasalahan yang perlu diperhatikan dengan serius secara integral dengan tantangan manajemen pemilu 2024.
Terkait partisipasi publik dan berbagai pelanggaran Pemilu yang harus diperbaiki oleh KPU periode saat ini. Dari semua tupoksi KPU, yang menjadi tugas maha berat sesungguhnya adalah memastikan tingkat partisipasi pemilih tetap tinggi. Sosialisasi kepada pemilih, ajakan untuk menggunakan hak pilih, kampanye tata acara memilih masih menjadi tugas utama KPU pada setiap rangkaian pemilu. Percuma saja jika aturan kuat, pesertanya banyak, pemilunya sederhana, namun masyarakat enggan datang ke bilik suara.
Menjadi beban KPU juga pada setiap perhelatan pemilu, memastikan hak memilih warga negara tersalurkan. Jangan ada lagi warga negara yang merasa menjadi korban diskriminasi karena tidak mendapatkan tiket untuk menyalurkan hak suaranya. Kaum miskin kota, penyandang disabilitas, adalah warga negara yang harus benar-benar dipastikan hak suara mereka terpenuhi.
Pemilu 2024 harus dipastikan lebih baik dibanding Pemilu sebelumnya. Sebuah prestasi bagi penyelenggara pemilu saat ini, jika kemudian Pemilu 2024 berjalan dengan lancar, jujur, mandiri dan berintegritas. Untuk itu memerlukan dukungan seluruh pihak dan seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia, agar kita dapat melaksanakan agenda besar nasional dengan aman, tertib dan lancar.