HOLOPIS.COM, JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritisi UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang telah disahkan dalam rapat paripurna Selasa (20/9) kemarin.

Dalam Pasal 58 ayat (3) dan (4) RUU PDP, disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Data Pribadi ditetapkan oleh Presiden
dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Mereka menyebut kedudukan Lembaga Perlindungan Data Pribadi yang berada di bawah Presiden atau Kementerian berpotensi menjadi lembaga yang tak independen. Artinya, akan ada potensi tarik menarik penyalahgunaan untuk kepentingan politik atau oleh penguasa.

“Ketika Lembaga/Badan Otoritas perlindungan data pribadi dibentuk melalui UU PDP diharapkan kedudukannya tidak ditempatkan berada di bawah Presiden langsung atau Kementerian dalam struktur ketatanegaraan,” tulis LBH Jakarta dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/9).

Mereka lantas mengambil contoh pergeseran kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017, yang menggeser kedudukan KPK yang merupakan lembaga indepeden ke rumpun eksekutif. Pergeseran kedudukan tersebut justru membuat kinerja KPK melemah.

“Tentunya berdampak pada kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK yang sudah tidak segarang dahulu dalam memburu para koruptor di negeri ini,” sambung LBH.

Lebih lanjut, LBH juga berpandangan struktur dan unsur dalam Lembaga Perlindungan Data Pribadi harus diatur dan dimuat dalam UU PDP itu sendiri, seperti pada beberapa lembaga negara di luar konstitusi yang lahir atas sebuah peraturan perundang-undang. Misalnya saja UU ORI, UU KPK, UU HAM, dan Komnas Perempuan yang dibentuk melalui Kepres No. 181/1998.

Menurut LBH, Lembaga Perlindungan Data Pribadi masuk ke dalam kategori lembaga yang memiliki kepentingan konstitusional (constitutional importance) yang dapat dilihat dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.

“Hal lain yang membuat Badan/Lembaga Otoritas Perlindungan Data Pribadi memiliki kepentingan konstitusional adalah karena perlindungan HAM merupakan materi yang harus ada dalam konstitusi setiap negara hukum yang salah satunya dicirikan dengan negara yang menghormati HAM,” tulis LBH.

Di sisi lain, LBH pun mengkritik pembahasan UU PDP yang tidak transparan. Menurut LBH, pembahasan UU ini begitu cepat “akibat adanya beberapa kasus kebocoran data pribadi dan Permenkominfo 5/2020 tentang PSE Lingkup Privat.”

Atas sejumlah hal tersebut, LBH mendesak tiga poin kepada Presiden Jokowi dan DPR.

  1. Presiden dan DPR wajib melakukan pemantauan penerapan UU PDP.
  2. Presiden dan DPR tidak berkompromi untuk menempatkan kedudukan dan struktur kelembagaan Lembaga/Badan Perlindungan Data Pribadi berada di bawah Presiden atau Kementerian untuk menciptakan independensi (independent bodies/state auxiliary organ).
  3. Presiden dan DPR RI diminta untuk membuka kanal-kanal dan medium pelibatan dan
    penyerapan masukan dari masyarakat atas berlakunya UU PDP.