HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abdul Rohim Ghazali menyampaikan surat terbuka kepada Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Walikota Cilegon, Sanuji Pentamarta terkait penolakan rencana pendirian rumah ibadah di tanah milik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Maranatha.

Rohim mengatakan, bahwa surat terbuka ini merupakan sebuah kritikan kepada pemerintah daerah, bukan sebuah upaya untuk menjatuhkan marwah pimpinan daerah di Kota Cilegon itu.

“Surat ini kami tulis bukan untuk mendiskreditkan, atau mengecam, tapi sebagai bentuk nasihat kami terhadap sesama Muslim,” kata Abdul Rohim dalam siaran tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Minggu (11/9).

Apalagi, tugas memberikan nasihat sudah sesuai dengan perintah ajaran agama Islam.

“Bukankah dalam alquran kita dianjurkan, atau bahkan diperintahkan untuk saling nasihat-menasihati satu sama lain, agar kita tidak merugi,” ujarnya.

Berikut adalah isi surat terbuka resmi dari MAARIF Institute ;

MAARİFInstitute for Culture and Humanity

SURAT TERBUKA
Kepada Yth
Walikota Cilegon, Bapak Helldy Agustian
Wakil Walikota Cilegon, Bapak Sanuji Pentamarta
di- Cilegon, Banten

Assalamu’alaikum wr . Wb.

Salam sejahtera semoga bapak berdua senantiasa dalam keadaan sehat wal – afiat dan sukses dalam menjalankan tugas sehari – hari.

Bapak Walikota dan Wakil Walikota yang kami hormati. Sebagai anak bangsa kami sangat prihatin menyaksikan dan membaca berita tentang bapak berdua yang nota bene sebagai pejabat negara ikut menandatangani penolakan pendirian Gereja Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon, pada 7 September 2022. Apakah tidak sadar bahwa apa yang bapak berdua lakukan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu .

Penolakan pendirian tempat ibadah yang dilakukan oleh pejabat negara adalah tindakan yang sengaja menghalangi – halangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya. Karena keberadaan rumah ibadah adalah keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama. Menghalangi pendirian rumah ibadah sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah.

Penolakan pendirian tempat ibadah yang dilakukan oleh pejabat negara adalah tindakan yang sengaja menghalangi – halangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya. Karena keberadaan rumah ibadah adalah keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama. Menghalangi pendirian rumah ibadah sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah.

Kalau penolakan itu dilakukan oleh waga negara, anggota masyarakat biasa, barangkali bisa disebut sebagai bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi -walau ini pun perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah dan atau menghalangi orang lain untuk beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain.

Bagi bapak berdua sebagai Walikota dan Wakil Walikota, penolakan pendirian rumah ibadah, selain melanggar konstitusi, juga melanggar Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan / tidak diskriminatif.

Dari data yang kami peroleh, secara demografis terdapat lima agama yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon, yakni Islam sebesar 97 %, Protestan 0,84 %, Katolik 0,77 %, Hindu 0,26 %, dan Buddha 0,16 %. Dari kelima agama itu, anehnya, tak ada satu pun rumah ibadah selain untuk pemeluk agama Islam. Jumlah Masjid 381, Musholla 387, sementara Gereja Protestan, Gereja Katolik, Pura, dan Wihara jumlahnya nihil alias zero!

Bapak berdua, atau siapa pun boleh saja berdalih dengan beragam alasan atas keberadaan fakta yang sangat diskriminatif ini, tapi bagi kami, ini membuktikan dengan jelas bahwa toleransi beragama yang setiap saat dipidatokan dengan penuh semangat, dan anti diskriminasi yang selalu menghiasi orasi, semuanya omong kosong belaka. Dan, di Kota Cilegon, Provinsi Banten yang bapak berdua pimpin, omong kosong itu begitu nyata adanya.

Bapak Walikota dan Wakil Walikota yang kami hormati. Surat ini kami tulis bukan untuk mendiskreditkan, atau mengecam, tapi sebagai bentuk nasihat kami terhadap sesama Muslim. Bukankah dalam al – Quran kita dianjurkan, atau bahkan diperintahkan untuk saling nasihat – menasihati satu sama lain , agar kita tidak merugi.

Kepada bapak berdua kami nasihatkan, atau kami anjurkan untuk menaati konstitusi dan undang – undang. Berilah kebebasan kepada warga negara yang berada di wilayah bapak berdua, untuk memeluk agama dan beribadah sesuai perintah agamanya masing – masing. Jangan bertindak diskriminatif, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan suatu kelompok penganut agama, dan mengabaikan kebutuhan kelompok penganut agama yang lain. Jadilah negarawan sejati yang senantiasa berpikir, berkata, dan bertindak untuk kepentingan semua warga negara. Dengan menunjukkan sikap sebagai negarawan, niscaya bapak berdua akan dicatat sebagai pemimpin yang layak menjadi teladan.

Demikian surat ini kami sampaikan, mohon maaf apabila ada kata atau ungkapan yang kurang berkenan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr . Wb .