HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mohammad Mahfud MD menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia memang sedang mengalami kemajuannya.
Pun demikian ia menyebut bahwa di tengah kemajuan yang dirasakan di dalam demokrasi tersebut, ternyata juga ada beberapa faktor yang membuat demokrasi juga mengakami kemunduran.
Dari sekian banyak faktor kemundurannya, Mahfud menyebut salah satunya adalah adanya praktik oligarki.
“Ini (faktor) kemundurannya, akhir-akhir ini banyak keluhan muncul gejala oligarki,” kata Mahfud saat menjadi keynote speech di Seminar Nasional, Menuju Demokrasi Berkualitas: Tantangan dan Agenda Aksi yang diselenggarakan oleh Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) di Yogyakarta, Sabtu (27/8).
Dijelaskan Mahfud, oligarki adalah satu sistem kepemimpinan yang ditentukan sekelompok orang yang saling kolutif. Mereka melakukan praktik persekongkolan untuk mencapai tujuan bersama dengan mempengruhi pembentukan sebuah kebijakan, baik dalam bentuk Perundang-Undangan maupun peraturan lainnya.
“(Oligarki) berbicara merencanakan secara curang lalu diformalkan melalui Undang-Undang atau kebijakan resmi legislatif sehingga ada permainan di situ,” jelasnya.
Selain keberadaan praktik oligarki, Mahfud menyebut contoh lain yang menjadi penyebab demokrasi mengalami kemunduran adalah praktik korupsi. Menurutnya, praktik korupsi ini banyak terjadi di lini yang juga berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
“Juga sekarang meluasnya kembali korupsi, seperti dulu jaman KKN,” ujarnya.
Faktor selanjutnya adalah penegakan hukum. Menurutnya, banyak praktik peradilan yang justru tidak memenuhi unsur keadilan, baik itu di sektor perbankan, persidangan maupun praktik yang dimotori oleh para mafia.
“Kemudian hukum sekarang tidak selalu mampu mengimbangi perkembangan oligarki (seperti) mafia tanah, mafia peradilan, mafia perbankan,” tandasnya.
Dari penjelasannya itu, Mahfud mengaku paling sedih adalah praktik mafia pertanahan. Praktik itu sebenarnya sampai saat ini banyak sekali terjadi di Indonesia.
“Saya paling sedih itu mafia tanah, misalnya yang diatur dengan aparat penegak hukum dengan lembaga-lembaga pembuat sertifikat,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia pun mengingatkan kepada seluruh masyarakat agar memastikan kembali kepemilikan hak tanah selalu dicek, apakah sudah memiliki sertifikat yang sah atau tidak.
“Hati-hati, bapak ibu punya sertifikat nanti dilihat, itu sering kali orang punya sertifikat lupa nengok dan lupa ngurusnya, tahu-tahu udah dipakai orang lain, orang yang punya sertifikat, ketika diadukan ke pengadilan dan polisi ‘kok sertifikat ini berubah ya ndak tahu‘, maju ke BPN bingung ‘lho kok ada dua sertifikat‘, lalu bilang BPN ‘udahlah ke pengadilan aja‘, di pengadilan yang punya sertifikat asli malah masuk penjara, ini sekarang masih banyak,” tuturnya.
Faktor selanjutnya yang membuat demokrasi di Indonesia juga mengalami kemunduran adalah bebasnya orang melontarkan kalimat caci dan makian kepada orang lain baik secara langsung maupun melalui platform digital.
“Saling caci maki di depan publik,” terangnya.
Lalu ada juga soal kecurangan dalam praktik politik praktis seperti pemilu. Mahfud menyebut sering kali terjadi praktik demokrasi jual beli sehingga lahir pemimpin-pemimpin bayaran.
“Pemilu apakah ada kecurangan, iya masih curang. Saya yang dulu ikut pemilu orde baru bahkan jadi hakim di jaman reformasi, (menyatakan) pemilu itu masih ada curang,” tandasnya.
Pun demikian, di dalam perkembangan demokrasi era saat ini, praktik kecurangan di dalam pemilu bisa diatasi dengan keberadaan pengadilannya, seperti Mahkamah Konstitusi. Sehingga terkait kecurangan pemilu antara saat reformasi dan orde baru tentu jelas berbeda.
“Kalau dulu yang curang pemerintah melalui LPU (Lembaga Pemilihan Umum) menangkan Golkar, ABRI (ABG, ABRI, Birokrasi dan Golkar), sekarang curangnya horizontal, partai politik ini curangi partai itu, dan sebagainya dan sama-sama curang. Tapi sekarang ada pengadilan pemilu, ada Mahkamah Konstitusi, dulu tidak ada,” papar Mahfud.
Inilah yang menjadi tantangan besar bagi semua komponan bangsa Indonesia untuk menyehatkan demokrasi. Sehingga demokrasi yang substantif bisa dicapai dengan baik.
“Kalau begitu demokrasi sudah ada kemajuan-kemajuan signifikan, tapi ada kemunduran sehingga tidak melahirkan demokrasi substantif, demokrasinya tidak berkualitas, karena lahir dengan cara-cara formalitas,” tuturnya.