HOLOPIS.COM, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), direkomendasikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI untuk dikaji ulang.

“RUU Perubahan Kedua UU ITE perlu menggeser orientasi dari pengekangan hak kebebasan berekspresi ke orientasi perlindungan hak kebebasan,” kata Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga, Kamis (28/7).

Rekomendasi yang diberikan Komnas HAM, pertama terkait asas nondiskriminasi. Asas tersebut merupakan hal penting dalam RUU ITE. Rekomendasi kedua, yakni pembentuk RUU ITE perlu mencantumkan pasal khusus tentang pembatasan yang sah dan proporsional.

Sandrayati memjelaskan, rekomendasi tersebut merupakan dasar penegak hukum dalam menyikapi sejauh mana laporan atas suatu kasus memenuhi kriteria sebagai tindak pidana atau bukan.

Selanjutnya, menghapus rumusan pasal tentang pencemaran nama baik dalam RUU ITE. Karena, itu berpotensi membatasi hak kebebasan berekspresi secara berlebihan (over limitation). Jika pasal tentang pencemaran nama baik dipertahankan, maka definisi atau unsur pencemaran nama baik harus diuraikan secara jelas. Baik itu dari unsur subjektif, objektif, maupun akibat yang ditimbulkan.

Selain itu, perkara tersebut tidak lagi dimasukkan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi pidana melainkan dimasukkan ke dalam perbuatan melawan hukum dengan pertanggungjawaban hukum yang bersifat keperdataan.

“Misalnya permintaan maaf, ganti rugi atau kompensasi kepada yang dirugikan,” ujar Sandrayati.

Rekomendasi ketiga, yakni memperbaiki rumusan Pasal 40 ayat (2b) dengan menekankan bahwa lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan pemutusan internet (shutdown) adalah lembaga independen.

Ini harus dibarengi dengan kewajiban memberikan informasi kepada publik mengenai alasan pemutusan jaringan internet. Baik mengenai lamanya waktu pemutusan, jangkauan wilayah yang diputus, dan dasar dan pertimbangan hukum dari kebijakan pemutusan.

Untuk itu, katanya, pembatasan akses internet harus diikuti mekanisme pertanggungjawaban yang jelas sebagai bagian dari kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negara.

“Kelima, moratorium penerapan pasal-pasal bermasalah dari UU ITE untuk mencegah pelanggaran HAM sampai RUU ITE disahkan,” ujarnya.

Terakhir, ujar dia, Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM Nomor 5 tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi agar menjadi rujukan bagi pemerintah dan DPR dalam merumuskan kembali RUU ITE.