HOLOPIS.COM, JAKARTA – Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) mewajibkan PSE lingkup privat untuk segera mendaftarkan diri terakhir tanggal (20/7).

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) mengklaim bahwa hal ini dilakukan untuk menjaga ruang digital Indonesia dan terhindar dari pelanggaran hukum.

Menanggapi hal tersebut, Cyber Security Consultant, Teguh Aprianto, menilai bahwa hal ini akan mengancam kebebasan masyarakat dalam berekspresi dan berbicara. Senada dengan Teguh, Dosen FH UGM sekaligus Peneliti Hukum dan HAM, Herlambang Wiratman juga menilai bahwa beberapa pasal di Permenkominfo 5/2020 bias.

Beberapa pasal bermasalah Permenkominfo 5/2020

Pasal 9 (3) dan (4)

Menurut Teguh Aprianto pada pasal ini terdapat hal yang dapat membahayakan masyarakat karena kalimat ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ dapat menjadi masalah.

“Nantinya bisa digunakan untuk ‘mematikan’ kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab ‘mengganggu ketertiban umum,” katanya melalui akun Twitter @secgron, dikutip Rabu (20/7).

Selain itu, Herlambang Wiratman juga menjelaskan pada pasal 9 (4) tidak dijelaskan secara eksplisit dalam aturan tersebut.

“Maknanya apa, standarnya apa, cara ngukurnya bagaimana siapa yang memiliki wewenang dalam menentukannya resah atau tidak resahnya masyarakat,” kata Herlambang dalam sebuah diskusi, dikutip Rabu (20/7).

Herlambang menjelaskan hal itu dapat membuka ruang perdebatan dan terjadi silang pendapat dalam proses penegakkan hukum.

Pasal 14 (1)

Pada pasal ini diatur siapa saja dapat melakukan permohonan pemutusan akses terhadap informasi dan dokumen elektronik yang beredar di PSE. Pihak yang dimaksudkan pada pasal tersebut adalah masyarakat, kementerian atau Lembaga, aparat penegak hukum dan Lembaga peradilan.

Oleh karena itu, pihak yang dapat memberi permohonan tersebut dinilai terlalu luas dan rentan sehingga dapat mengganggu aktivitas PSE.

“Di sisi lain, ini juga membuka lebar kemungkinan pemohon untuk menggampangkan pemutusan akses atas informasi karena permintaan sepihak,” kata Herlambang.

Pasal 14 (3)

Serupa pada pasal 9, pasal 14 ini juga ditemukan kalimat ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ yang mengancam kebebasan berekspresi dan pendapat.

“Kok konten saya di takedown? Mereka tinggal jawab ‘meresahkan masyarakat’,” tutur Teguh.

Ia menjelaskan bahwa adanya kesengajaan dalam membuat pasal karet untuk membebaskan pemerintah melakukan apapun, sebagaimana yang telah terjadi pada UU ITE.

“Kita semua udah bisa lihat dampak dari pasal karet di UU ITE. Permenkominfo yang ini juga sangat meresahkan,” lanjutnya.

Pasal 21 (1) dan (2)

PSE lingkup privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau data elektronik kepada Kementerian dan Lembaga serta aparat penegak hukum, untuk pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga mudah disalahgunakan.

“Apalagi teori three part test-nya juga belum diatur ketat dalam Permenkominfo 5/2020, sehingga praktis, pengaturan ini membuka ruang pelanggaran hak privasi,” jelas Herlambang.

Baca di halaman selanjutnya