Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Komnas Perempuan menyoroti rencana Dinas Perhubungan DKI Jakarta terkait pemisahan tempat duduk pria dan wanita di Angkot.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mulanya menjelaskan terkait komposisi tempat duduk di angkot. Ia pun menyinggung soal istilah 4-6 yang sering digunakan publik.

“Kalau angkot biasanya ada teriakan 4-6, 4 di kiri, 6 di kanan pas di belakang supir. Pada beberapa rute, harus menunggu sampai penuh baru angkot akan bergerak,” kata Andy (12/7).

Andy menyebut, kapasitas angkot biasanya terdiri dari 12 penumpang. Sering pula angkot baru berangkat jika kapasitas telah terisi banyak penumpang.

“(Ada) 12 penumpang karena 2 di samping supir, 4 dan 6 di belakang. Prinsipnya, siapa yang duluan sampai dia bisa masuk dan berharap semoga bangku segera diisi agar bisa berangkat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Andy pun menyoroti tempat duduk perempuan yang ada di sisi kiri angkot, yang artinya hanya tersedia untuk 4 orang penumpang.

Dia menilai, hal tersebut membuat penumpang perempuan kelima harus menunggu angkot selanjutnya.

“Kebayang rekan-rekan perempuan hanya bisa duduk 4 orang, maka orang ke-5 harus menunggu berikutnya, demikian juga yang laki-laki, kalau jadi orang ke-7 maka harus tunggu berikutnya, padahal baris di seberangnya ada ruang kosong,” katanya.

Menurutnya, aturan tempat duduk ini justru akan menyulitkan pengguna angkot, baik itu perempuan maupun laki-laki. Aturan ini juga dinilai akan merugikan penyedia jasa itu sendiri.

“Model pengaturan ini tidak implementatif karena akan menyulitkan penumpang, apa pun jenis kelaminnya, dan menjadi kerugian bagi penyedia jasanya,” kata dia.

“Kebayang ya, misal posisi 4 sudah penuh sementara posisi 6 masih kosong, maka angkot akan menunggu penumpang yang harus pas jenis kelaminnya untuk bisa mengisi kursi kosong itu,” katanya.

Selain itu, Andy menilai pengaturan tempat duduk ini juga berpotensi menjadi peneguh budaya menyalahkan korban.

“Padahal ada calon penumpang yang sudah siap berangkat tapi nggak bisa naik angkot karena jenis kelaminnya nggak pas untuk posisi kursi yang kosong itu. Selain itu, pengaturan serupa ini berpotensi menjadi peneguh budaya menyalahkan korban,” katanya.

“Misalnya ia bersikeras naik angkot karena sudah terlambat, jika terjadi pelecehan seksual maka ia yang dianggap bertanggung jawab. Karena kan sudah diatur seharusnya ia tidak duduk di deret tersebut,” tambahnya.