HOLOPIS.COM, COLOMBO – Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa akhirnya mengumumkan bersedia untuk mengundurkan diri dari jabatannya, setelah dikepung ribuan Demonstran. Pengumuman itu disampaikan melalui juru bicara parlemen, Mahinda Yapa pada Sabtu (9/7) larut malam.
Melansir The Guardian, Minggu (10/7), Mahinda Yapa mengatakan, bahwa Rajapaksa bersedia mundur dari kursi presiden pada 13 Juli mendatang, untuk “memastikan transisi kekuasaan yang damai”.
Selain Rajapaksa, Perdana Menteri (PM), Ranil Wickremesinghe juga menyatakan akan segera mengundurkan diri, setelah pemerintahan baru telah dibentuk. Hal itu disampaikannya pada pada pertemuan para pemimpin partai beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, gelombang protes tengah terjadi di negara berpenduduk 22 juta jiwa itu. Gelombang protes itu terjadi akibat krisis ekonomi terburuk sejak tujuh dekade terakhir.
Adapun gelombang protes terbesar terjadi pada Sabtu (9/7). Para demonstran dilaporkan menyerbu gedung pemerintahan hingga rumah presiden dan perdana menteri Sri Lanka. Bahkan, rumah PM Ranil Wickremesinghe juga turut dibakar.
Sebagian besar kemarahan dan kesalahan atas krisis ekonomi Sri Lanka telah diarahkan pada presiden dan keluarga Rajapaksa.
Keluarga Rajapaksa merupakan dinasti politik paling kuat di Sri Lanka dan memegang posisi presiden, perdana menteri, menteri keuangan, dan beberapa jabatan kabinet senior lainnya.
Rajapaksa, yang mendorong agenda ultranasionalis yang keras, dituduh melakukan korupsi, salah mengelola ekonomi, dan mendorong negara itu menuju kebangkrutan.
Sejak Maret, telah terjadi protes luas yang menyerukan agar Rajapaksa, khususnya presiden, disingkirkan dari kekuasaan dan dimintai pertanggungjawaban atas keadaan ekonomi yang mengerikan yang sekarang dihadapi oleh 22 juta orang di negara itu.
Rajapaksa yang seorang mantan anggota militer yang juga dituduh melakukan kejahatan perang ketika dia menjadi menteri pertahanan, telah menolak untuk mundur selama berbulan-bulan. Pengunduran dirinya pada pekan ini akan menandai berakhirnya penahanan dua dekade yang dimiliki keluarga Rajapaksa atas politik Sri Lanka.
Sri Lanka terus berjuang melalui krisis yang menghancurkan di mana ekonomi telah benar-benar runtuh dan pemerintah tidak mampu untuk mengimpor makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Semua penjualan bensin telah ditangguhkan, sekolah-sekolah ditutup, dan prosedur medis serta operasi ditunda atau dibatalkan karena kekurangan obat-obatan dan peralatan, dengan PBB baru-baru ini memperingatkan bahwa negara itu menghadapi krisis kemanusiaan.
Inflasi memecahkan rekor 54,6% dan harga pangan telah naik lima kali lipat, yang berarti dua pertiga dari negara itu berjuang untuk makan. Sri Lanka gagal membayar utang luar negerinya pada Mei, yang totalnya lebih dari US$ 51 miliar, dan sedang dalam negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk dana talangan senilai US$ 3 miliar.