JAKARTA, HOLOPIS.COM – Kuasa Hukum Partai Buruh untuk pengujian UU PPP di Mahkamah Konstitusi, Said Salahudin mengatakan, bahwa pihaknya akan segera mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU PPP.
“Lusa kemungkinan akan kami daftarkan. Kami akan melakukan dua pengujian. Formil dan dan materiil,” kata Said dalam keterangan persnya, Rabu (22/6).
Ada beberapa hal yang menjadi alasan Partai Buruh merasa berkepentingan untuk melakukan pengujian terhadap UU No 13 Tahun 2022.
Pertama, dari aspek formil ada kerugian konstitusional. Menurut Said Salahudin, Undang-Undang ini dibentuk tanpa kepastian hukum. Padahal di dalam UUD Pasal 28D ayat 1 dinyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum.
“Aspek kepastian hukum tidak terpenuhi. Mulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Ini membuat Partai Buruh merasa kepastian hukum yang dijamin konstitusi dilanggar,” ujarnya.
Ada satu hal yang agak berbeda dalam perubahan UU PPP dibanding Undang-Undang yang lain. UU PPP adalah ibunya Undang-Undang. Dari rahimnya ini lahir berbagai Undang-Undang.
“Karena itu, revisi UU PPP harus mengikuti ketentuan dalam UU PPP yang sebelum dilakukan revisi. Tanpa itu, maka ia kehilangan aturan. Ia harus ikut dalam aturan UU PPP sebelum diubah,” ujar Said.
“Di sini kami menemukan cacat formil,” tegasnya.
Kedua, dalam pembentukan Undang-Undang, ada beberapa asas yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
“Saya ambil contoh UU PPP ini. Apakah Undang-Undang ini dibentuk karena benar-benar dibutukan? Mayoritas rakyat Indonesia buruh, petani, hingga nelayan; mereka tidak butuh revisi UU PPP yang dimaksudkan untuk memuluskan UU Cipta Kerja jilid dua.”
Faktanya, konfederasi-konfederai besar, serikat petani, hingga kelompok perempuan yang ada dalam Partai Buruh menolak revisi UU PPP yang dimaksudkan untuk memuluskan UU Cipta Kerja.
Menurut Said Salahudin, revisi UU PPP harus dibaca dalam satu rangkaian dengan omnibus law UU Cipta Kerja. Hal itu dinyatakan sendiri di dalam penjelasan UU 13/2022. Di sana disebutkan, UU PPP diubah karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan UU Cipta Kerja.
Hal yang lain, kerugian konstitusional yang dialami adalah tidak adanya keterlibatan kaum buruh, petani, dan nelayan. Mereka seharusnya dilibatkan dalam revisi UU PPP. Karena revisi ini menyangkut UU Cipta Kerja.
“Jadi mengulangi UU Cipta Kerja, revisi UU PPP tidak ada keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Padahal, secara teoritis, ini satu hal yang mutlak,” tegas Said Salahudin.
Sementara itu, dari aspek materiil, omnibus sebagai sebuah metode pembentukan Undang-Undang secara hukum memang diakui. Namun demikian, omnibus law harus dipandang dengan memperhatikan korelasi antar Undang-Undang. Tidak asal menggabungkan Undang-Undang. UU Cipta Kerja sebagai contoh, memasukkan lebih dari 80 Undang-Undang yang tidak terkait satu sama lain.
Hal lain yang disoroti Said Salahudin adalah adanya ketentuan yang mengatakan, sesuatu yang disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR bisa dilakukan perbaikan.
“Saya sangat yakin Mahkamah Konstitusi akan membatalkan ini. Karena sebuah RUU yang ditetapkan dalam rapat DPR, RUU tersebut sudah berubah menjadi UU. Itu namanya pengesahan materiil,” ujarnya.
Presiden diberi waktu 30 hari untuk menandantangani. Kalau pun tidak ditandatangani, UU tersebut tetap berlaku.
“Kalau masih ada yang salah ketika disahkan, berarti DPR tidak benar dalam menyusun Undang-Undang. Bahasa Indonesia itu beda satu huruf saja beda makna. Kalau kemudian ada revisi untuk kepentingan pihak tertentu, itu berbahaya sekali,” tegasnya.