JAKARTA, HOLOPIS.COM – Hasil reshuffle Kabinet Indonesia Maju pada Rabu (15/6) memperkuat adanya unsur transaksi politik dibandingkan untuk kepentingan rakyat. Indikatornya adalah diakomodirnya Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan alias Zulhas sebagai menteri baru yang merupakan pendukung wacana Jokowi tiga periode.
“Reshuffle kali ini tidak ada gunanya, jika dilihat dari komposisi orang-orang yang ditunjuk sebagai menteri maupun wakil menteri,” ujar Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun di Jakarta, Kamis (16/6).
Terlebih lagi, sambung Ubedilah, pasar juga negatif dalam merespon perombakan tersebut. Salah satu indikasinya adalah IHSG yang turun hingga 18,68 poin. Artinya, ada yang diharapkan oleh pasar tapi tidak mampu dijawab baik oleh Jokowi.
“Bahwa pasar sebenarnya berharap hadirnya tokoh yang benar-benar profesional di kabinet, bukan berasal dari politisi. Jadi kesan publik melihat reshuffle kali ini kuat transaksi politiknya,” tutur Ubedilah.
Publik, lanjut Ubeidilah, juga bertanya-tanya karena seseorang yang dimarahi publik gara-gara mendorong isu tiga periode malah diangkat sebagai menteri.
“Akhirnya publik berspekulasi berarti rencana tiga periode itu memang direstui Jokowi atau mungkin keinginan Jokowi juga. Jangan-jangan rencana tiga periode akan muncul lagi. Suasana psikopolitik seperti ini yang akan terus menjadi hantu sentimen nagatif pasar dan publik baik publik nasional maupun internasional. Ini bahaya,” tegas Ubedilah.
Selain itu, posisi menteri lainnya terkesan tidak sesuai bidangnya. Menteri yang dimaksud adalah, mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto yang diangkat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Ubedilah yakin, Menteri Hadi akan butuh banyak waktu untuk adaptasi memahami pekerjaan di Kementerian ATR/BPN. Sementara di sisi beriringan, dinamika politik yang terjadi semakin kenceng.
“Artinya, pekerjaan Kementerian ATR/BPN akan tidak efektif. Sementara para wamen yang baru itu juga terang benderang transaksional politiknya, yang sulit mendongkrak sentimen positif publik,” pungkasnya.