“Kalau sudah pemekaran, ada anggaran pembangunan, yang awalnya tadi tersentral, lalu ada penyumbatan, maka yang terjadi maka pembangunan di sana lambat, hanya netes (anggarannya). Maka ketika ada pemekaran, maka yang hambat saluran anggaran bisa tersalurkan dengan baik,” tandasnya.
Dialog interaktif, konstruktif dan solutif
Lebih lanjut, Karyono Wibowo menyarankan agar upaya pemekaran wilayah tersebut tidak dilakukan secara otoriter. Akan tetap didahulukan proses dialog untuk menangkap apa sebenarnya kebutuhan masyarakat papua, sehingga pendekatan kesejahteraan yang diambil benar dan tepat sasaran.
“Sebelum ada pemekaran, harus ada proses dialog, harus ada mapping di sana. Selain dengan cara intelijen dan dialog, harus ada riset yang holistik untuk mendeteksi apa sih kemauan masyarakat sebenarnya di sana, sehingga bisa kita breakdown kemauan mereka dan respon masyarakat Papua tentang wacana pro kontra pemekaran bagaimana,” ucapnya.
Ia yakin tidak semua pihak yang menolak pemekaran benar-benar menolak, bisa jadi karena mereka belum memahami apa itu pemekaran wilayah dan manfaatnya. Informasi dan dialog yang belum tuntas bisa memicu penolakan masyarakat.
“Karena belum tentu yang sekarang ini menolak pemekaran, ketika mereka tahu lalu tetap menolak, begitu ada dialog dan mereka diajak diskusi untuk tentukan nasib mereka dan dilibatkan, mereka bisa beranggapan bagus soal pemekaran, maka ketika dilakukan survei bisa diketahui data yang presisi, maka perlu ada kajian holistik,” pungkasnya.