JAKARTA, HOLOPIS.COMMenteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mohammad Mahfud MD kembali memberikan tanggapannya soal perdebatan tentang tayangan pasangan Gay Ragil Mahardika dan Frederik Vollert di channel Close the Door milik Deddy Corbuzier.

Menurutnya, perilaku LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender) maupun perzinaan harus diproses hukum dalam konteks yudikasi positif di Indonesia. Salurannya adalah melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Bahkan kata Mahfud, ia sangat setuju dan mendukung hukuman itu masuk dalam RKUHP yang ia singgung sejak tahun 2017 silam.

“Saya sudah usul sejak 2017 agar LGBT dan Zina segera dihukumkan di KUHP,” kata Mahfud MD, Kamis (12/5).

Hal ini untuk menjawab sikap pemerintah termasuk dirinya sebagai orang yang membawahi bidang hukum di pemerintahan pusat, bahwa LGBT dan Zina tidak bisa dipidana karena tidak ada payung hukum positif yang menjadi dasar untuk menghukum.

Sejauh ini, persoalan LGBT dan Zina sebagai penyimpangan seksual dan pelanggaran norma hanya bisa dijerat dengan sanksi otomom, yakni sanksi sosial belaka. Bukan heteronom yang merupakan rangkaian fatwa hukum positif.

Karena persoalan tersebut benang merahnya ada di DPR sebagai lembaga yang memproduksi Undang-Undang. Jika RKUHP yang dimaksud Mahfud bisa disahkan, maka pelaku LGBT maupun perzinaan bisa dijebloskan ke penjara.

“Kita tak bisa melakukan tindakan hukum heteronom kalau belum dihukumkan. Kita hanya mengandalkan sanksi otonom. Kapan itu disahkan R-KUHP? Kita tunggu,” tandasnya.

Mahfud MD juga sekaligus memberikan penjelasan bahwa Deddy Corbuzier tidak bisa dijerat pidana tentang konten yang saat ini tengah ramai diperdebatkan publik itu. Menurutnya, tidak ada hukum positif yang ditabrak oleh Deddy dengan konten podcastnya itu.

“Berdasar asas legalitas, orang hanya bisa diberi sanksi heteronom (hukum) jika sudah ada hukumnya. Jika belum ada hukumnya maka sanksinya otonom (seperti ; caci maki publik, pengucilan, malu, merasa berdosa, dll). Sanksi otonom adalah sanksi moral dan sosial. Banyak ajaran agama yang belum menjadi hukum,” tuturnya.