Meskipun disebut sebagai Lebaran Ketupat, Dwi memastikan, tidak ada salat Ied. Warga terutama di wilayah Trenggalek dan Tulungagung biasanya menabuh kentungan sebagai penanda Lebaran Ketupat. Beberapa ada yang merayakannya dengan makan bersama di masjid sedangkan lainnya lebih memilih menghantarkan kuliner tersebut kepada kerabat, tetangga dan sebagainya.

Pada wilayah tertentu di Jatim, perayaan utama Idul Fitri justru terjadi pada hari ketujuh. Mereka bisa merayakannya secara meriah, baik dengan festival, selamatan dan sebagainya. Ada pula yang merayakannya dengan berwisata bersama keluarga di tempat tertentu.

Lalu mengapa warga Jatim merayakan Lebaran Ketupat pada hari ketujuh? Dwi menilai ini berkaitan dengan pelaksanaan puasa Syawal yang berlangsung selama enam hari. Perayaan ini menandakan umat Muslim telah menyelesaikan ibadah tersebut dengan baik. Sebab itu, mereka menutupnya dengan cara bersyukur serta bergembira melalui tradisi kupatan.

“Lalu apa Lebaran Ketupat hanya untuk yang puasa Syawal? Yang tidak puasa juga merayakan, sehingga akhirnya ini jadi fenomena umum. Jadi kekayaan (budaya),” jelasnya.

Sementara ihwal pelaksanaan tradisi kupatan pertama, Dwi mengaku, belum bisa menemukan data pastinya. Namun dia memperkirakan tradisi ini sudah ada sejak lima generasi sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari informasi yang dia peroleh berdasarkan pengakuan nenek, buyut dan seterusnya.

“Di lingkungan masyarakat Islam sepertinya sudah lima generasi, bahkan sudah ada sebelumnya. Sekitar satu abad. Kalau hitungannya satu generasi itu 15 sampai 20 tahun, maka lima generasi itu sekitar 100 tahun sudah dilakukan tradisi kupatan,” kata dia menambahkan.