A
da polemik yang menarik tentang perbandingan antara berbagai orde dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Dimulai saat Ketua BEM Seluruh Indonesia (SI) sedikit terpeleset saat membandingkan aspek kebebasan dan kesejahteraan dalam membandingkan Orde Baru dengan Orde Reformasi.
Terutama tentang masalah kebebasan, yang cukup menyita perhatian publik. Sang Ketua BEM, dalam sebuah acara, menyebut ada kebebasan di era Orde Baru. Publik riuh rendah.
Tak lama, mahasiswa semester sepuluh yang bernama Kaharuddin dari Universitas Riau ini memberikan klarifikasi di berbagai media. Seharusnya polemik berhenti. Tapi tidak.
Saking menarik temanya, sebuah televisi swasta pun menyiarkan khusus diskusi lanjutan tentang tema ini mengundang Kaharuddin dan sejumlah responden termasuk pimpinan relawan Jokowi. Sebuah polemik yang menyehatkan, menambah wawasan, dan tentu menyadarkan.
Dulu kebebasan memang sangat buruk di era Orde Baru. Berbagai jenis pelanggaran HAM terjadi di era ini. Mulai dari pembunuhan dan penangkapan kader Partai Komunis Indonesia dan simpatisan Sukarno pada tahun 1965-1966, ratusan ribu dibunuh dan puluhan ribu jiwa dipenjarakan tanpa pengadilan yang layak.
Kasus Penembakan Misterius (Petrus) pada 1982-1985 yang mengorbankan nyawa “preman” lebih dari sepuluh ribu jiwa. Kasus Tanjung Priok (1984) mengorbankan nyawa masyarakat sebanyak 33 jiwa.
Kasus Talang Sari, Lampung (1989) yang menyebabkan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindah secara paksa, dan 46 orang disiksa. Kasus penculikan aktivis (1998), 1 terbunuh, 23 nyawa hilang, 25 orang disiksa dan dianiyaya.
Selain itu ada juga kasus perampasan lahan oleh pemerintah, seperti yang paling ramai adalah kasus Kedung Ombo (1989) yaitu ketika sebanyak 5800-an keluarga dipaksa menyingkir dari desa-desanya demi proyek waduk pemerintah. Serta kasus tanah di Jenggawah, Jember (1977), Siria Ria, Tapanuli (1977), Badega (1984), Cimacan (1988), dan kasus-kasus agraria yang tak terlaporkan lainnya.
Kebebasan pers jelas tidak ada. Beberapa perusahaan pers pada era ini dibredel karena terlalu kritis pada era pemerintah.
Namun kini pada era Reformasi, terutama di era Jokowi, pelanggaran HAM juga tidak menyurut. Yang paling ramai, hingga dibicarakan oleh pemerintah Amerika Serikat, adalah kasus penembakan laskar FPI di KM50 Jakarta-CIkampek yang menewaskan enam orang.
Kontras menyatakan, Pemerintahan Jokowi abai terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Keluarga korban tragedi 1998, Sumiarsih menyebut Jokowi melindungi terduga pelaku dengan memberikan jabatan pemerintahan.
Korban demonstrasi 22 Mei 2019 yang menolak hasil Pilpres, sebanyak 6 orang meninggal. Pemilu 2019 adalah juga pemilu paling berdarah darah, menurut laporan terbaru sebanyak 890 orang pertugas KPPS meninggal, ini pun adalah pelanggaran HAM oleh Negara kepada rakyatnya.
Konflik agraria pun cukup besar, sebanyak 1.769 kasus pada tahun 2014-2019. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 41 orang tewas dan 546 orang dianiaya terjadinya konflik agraria pada periode pertama pemerintahan Jokowi ini.
Dunia pers juga terancam kebebasannya di era Jokowi. Pembunuhan terhadap wartawan yang krtitis terhadap pemerintah masih ada.
Contohnya pembunuhan terhadap wartawan Marsal Harahap di Sumatera Utara dan Demas Laira di Sulawesi Barat. LBH Pers mencatat setidaknya untuk tahun 2020 saja terdapat 117 kasus kekerasan terhadap pers.
Lembaga survey Indikator Politik belum lama juga menyebutkan bahwa 62 persen respondennya takut berpendapat di era ini. Wajar, meningat UU ITE yang seharusnya untuk kasus-kasus penipuan di dunia internet, menjadi alat politik mengekang kebebasan berpendapat.
Apalagi kini sudah menjadi trend, akun-akun sosial media aktivis dicuri akunnya oleh para hacker penguasa setiap menjelang aksi-aksi menyatakan berpendapat. Jadi wajar bila kini orang takut menyatakan pendapat, apalagi menjadi aktivis.
Artinya menjadi hampir tidak ada bedanya kebebasan di era kini dan dulu. Karena situasi kebebasan di era kini semakin menuju ke masa dulu.*