Atas desakan kaum buruh saat itu, S.M. Abidin, Menteri Perburuhan dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, mengeluarkan Surat Edaran nomor 3676/54 mengenai “Hadiah Lebaran”. Dalam Surat Edaran tersebut, THR bagi perusahaan swasta sifatnya sukarela dan tidak dapat dipaksakan.

Adapun besarannya adalah seperduabelas dari upah yang diterima buruh dalam masa antara lebaran sebelumnya dan yang akan datang, sekurang-kurangnya Rp50 dan sebanyak-banyaknya Rp300.

Namun meskipun Surat Edaran serupa selalu dikeluarkan tiap tahunnya dari 1955 hingga 1958, pada dasarnya Surat Edaran hanyalah sebagai anjuran dan tidak memiliki kekuatan hukum, sehingga buruh pun belum puas atas hal tersebut.

Perjuangan buruh akhirnya membuahkan hasil positif. Ahem Erningpraja, Menteri Perburuhan Kabinet Kerja II pada era pemerintahan Sukarno, menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 tahun 1961 yang isinya menyebutkan bahwa Hadiah Lebaran wajib dibayarkan oleh perusahaan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan. Aturan tersebut terus diberlakukan hingga pada era Pemerintahan Orde Baru.

Pada 16 September 1994, melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan, istilah ‘Tunjangan Hari Raya’ (THR) diperkenalkan sebagai pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.

Demonstrasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut hadiah Lebaran di Bandung, 1950 (Foto Twitter @potretlawas)
Demonstrasi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menuntut hadiah Lebaran di Bandung, 1950 (Foto : Twitter @potretlawas)

Abdul Latief, Menteri Tenaga Kerja saat itu, mengeluarkan kebijakan yang menyebutkan bahwa Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Peraturan tersebut pun diperkuat dengan adanya sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut.

Sedangkan bagi Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu membayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Hingga saat ini, THR pun akhirnya didapatkan oleh seluruh pekerja baik itu buruh dan juga PNS. Saat ini istilah THR tidak hanya selalu berbentuk uang, tapi bisa juga berupa makanan, bahan-bahan pokok, hingga barang-barang lainnya yang masa kini disebut sebagai hampers.