“Dalam proses tersebut, perusahaan masih berkewajiban membayar upah buruh seperti biasa. Jadi tidak arogan dengan mentransfer uang pesangon, yang itu pun nilainya hanya sebesar 0,5%,” tandasnya.

Menurut Riden, pengertian efisiensi harus diartikan secara benar, yakni melakukan penghematan. Bukan dijadikan kesempatan mem-PHK anggota dan pengurus serikat pekerja.

Dalam hal ini kata Riden, Menteri Tenaga Kerja pernah mengeluarkan surat edaran yang isinya, untuk mencegah PHK akibat efisiensi yang terlebih dahulu dilakukan adalah mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur; mengurangi shift; membatasi/menghapuskan kerja lembur; mengurangi jam kerja; mengurangi hari kerja; meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; dan memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

“Tetapi yang dilakukan DFSK justru secara sepihak melakukan PHK terhadap karyawan tetap. Padahal di sana masih banyak buruh kontrak dan outsourcing,” tegasnya.

Terpisah, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK FSPMI), Ranto Afrianto menilai, PHK yang dilakukan perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Selain tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan serikat pekerja, kompensasi yang diberikan tidak sesuai dengan ketentuan. Pun perusahaan tidak pernah menunjukkan laporan keuangan perusahaan yang sudah diaudit oleh akuntan publik independen yang memperlihatkan sedang merugi selama dua tahun berturut-turut,” tegasnya.

Dengan tidak didahului perundingan dengan serikat pekerja, FSPMI menduga jika perusahaan ingin menghilangkan keberadaan serikat pekerja di pabrik mobil untuk pasar domestik dan eksport tersebut.