Jakarta, HOLOPIS.COM Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberi banyak jabatan kepada Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan menjadi contoh buruk pemimpin dan pejabat yang tidak taat pada Undang Undang. Hingga kini tercatat ada 10 jabatan yang diemban pria kelahiran 28 September 1947 itu.

Jabatan baru yang diemban Luhut selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi adalah Ketua Dewan Harian Nasional SDA. Hal itu semakin memperjelas rangkap jabatan yang bertentangan dengan UU.

“Seseorang dilarang rangkap jabatan, dan ini suatu pelanggaran, tidak bisa ditolerir. Karena tidak dibenarkan seseorang langgar UU dengan sengaja. Apalagi itu dilakukan oleh seorang presiden atau kepala negara. Ini contoh buruk bagi ketaatan terhadap UU,” kata Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi kepada wartawan, Kamis (14/4).

Karena, kata Muslim, jangan salahkan rakyat bila melakukan hal yang sama seperti Presiden Jokowi, yaitu melanggar UU secara sengaja.

“Jadi persoalan jabatan yang diberikan kepada Luhut bukan karena Jokowi tidak percaya orang lain. Bisa jadi di mata Jokowi di negeri ini hanya ada Luhut. Sehingga ada guyonan di publik, mirip iklan teh botol, Apa pun jabatannya Luhut lah orangnya. Dan ini pasti timbulkan antipati di masyarakat,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, larangan pejabat rangkap jabatan telah diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara, menteri dilarang merangkap jabatan apabila jabatan yang dimaksud adalah sebagai pejabat negara lainnya atau menjadi komisaris/direksi pada perusahaan negara/swasta atau merangkap sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai oleh APBN/APBD.

Diluar batas limitatif tersebut, menteri atau pejabat negara setingkat menteri yang melakukan rangkap jabatan tidak bisa dilengserkan dari jabatannya, kecuali diberhentikan oleh Presiden sesuai dalam Pasal 24 UU No.39 Tahun 2008.

Diaturnya rangkap jabatan secara serius dalam berbagai pasal mengindikasikan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan di instansi pemerintahan.

Konflik kepentingan berpotensi mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan berpotensi untuk melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu upaya penanganan dan pencegahan dari konflik kepentingan tersebut.