JAKARTA, HOLOPIS.COM – Wacana kenaikan harga beberapa komoditas kian menguat. Jika hanya kenaikan harga komoditas pangan, tentu tak akan membebani masyarakat, sebab sudah biasa terjadi di bulan Ramadan.
Namun masalahnya, wacana kenaikan harga juga terjadi pada komoditas energi, seperti bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, LPG dan yang teranyar tarif dasar listrik. Hal itu seperti yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (13/4).
Dalam kesempatan itu, Arifin menyebut, bahwa pemerintah akan melakukan tarif adjustment (penyesuaian tarif) dasar listrik di Tanah Air. Arifin berdalih, penyesuaian itu dilakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari ancaman defisit.
“Dalam jangka pendek penerapan tarif adjustment 2022 ini untuk bisa dilakukan. Akan ada penghematan kompensasi sebesar Rp 7 triliun-Rp 16 triliun,” ujar Arifin.
Jika kenaikan harga komoditas energi benar-benar terjadi, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan semakin tercekik karena kenaikan harga yang terjadi secara berjamaah.
Perlu diingat, pemerintah di awal bulan ini juga telah resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11%, yang membuat masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam ketika membeli barang atau jasa.
Ekonom Indef, Abra Talattov mengakui bahwa dengan menaikkan harga komoditas energi tersebut memang bisa mengurangi beban APBN. Namun di sisi lain, kenaikan harga tersebut tentu akan menambah beban masyarakat yang nantinya justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Yang dikorbankan adalah daya beli masyarakat, justru ekonomi akan melambat,cost-nya akan lebih besar dibanding proyeksi penghematan dari APBN,” ujar Abra.
Abra menjelaskan, kenaikan harga komoditas energi akan mengerek biaya produksi yang tentunya akan menimbulkan efek domino, di mana harga-harga barang yang menggunakan konsumsi bahan bakar peralite, listrik, dan LPG tentu akan meningkat, dan membuat ancaman inflasi semakin nyata terjadi.
Lebih lanjut, ia juga menilai kenaikan harga beberapa komoditas energi itu justru terkesan menantang arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana saat itu, orang nomor 1 (satu) di RI itu menegaskan kepada para menterinya agar memiliki sense of crisis terhadap kesulitan rakyat.
“Ini menunjukkan bahwa pemerintah kontradiktif dengan arahan Pak Jokowi yang mengatakan dalam keadaan krisis seharusnya menteri-menteri mempunyai sense of crisis terhadap masyarakat,” kata Abra.
Sebagai informasi, pada ungkapan sense of crisis itu muncul ketika harga BBM jenis Pertamax naik. Merespon kenaikan harga tersebut, Jokowi menyentil Menteri Arifin Tasrif yang seharusnya memberikan penjelasan ke publik terkait kenaikan harga Pertamax.
“Diceritain dong. Ada empati? Enggak ada. Yang berkaitan dengan energi enggak ada. Itu yang namanya memiliki sense of crisis,” ujarnya saat sidang kabinet paripurna, Selasa (6/4) lalu.
Maklum saja, saat itu masyarakat sudah terpukul dengan lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng di pasaran. Belum lagi harga pangan yang ikut melonjak menjalang Ramadan 1443 Hijriah.