JAKARTA, HOLOPIS.COM – International Monetary Fund (IMF) mengkhawatirkan adanya sejumlah negara berkembang dan miskin yang bakal kesulitan dalam pembayaran utang. Sri Lanka adalah salah satu negara yang terancam masuk dalam jurang krisis.
Negara yang pernah diberi nama Ceylon oleh kolonial Inggris itu diketahui default atau gagal membayar utang luar negerinya senilai US$51 miliar atau setara Rp732 triliun (asumsi Rp14.360/US$). Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Posisi utang pemerintah hingga akhir Februari 2022 sebesar Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17% terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Rasio utang kita relatif rendah baik diukur dari negara ASEAN, G20 atau seluruh dunia,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Rabu (13/4)
Berdasarkan jenisnya, utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang mencapai 87,88% dari seluruh komposisi utang per akhir Februari 2022. Atau sebesar Rp 6.164,2 triliun. Berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh rupiah yakni 70,07%.
Sementara itu, kepemilikan SBN oleh investor asing terus menurun sejak tahun 2019 yang mencapai 38,57%, hingga akhir tahun 2021 yang mencapai 19,05%, dan per 15 Maret 2022 mencapai 18,15%.
SBN dalam mata uang rupiah mencapai Rp4.901,66 triliun, sementara dalam valuta asing Rp1.262,53 triliun. Keduanya diterbitkan dalam bentuk surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Kemudian, komposisi utang pinjaman dari pinjaman tercatat hanya 12,12% atau senilai Rp850,38 triliun. Angka itu terdiri atas pinjaman dalam negeri Rp13,27 triliun dan pinjaman luar negeri Rp837,11 triliun.
Meski demikian, Sri Mulyani memastikan, pemerintah tetap menjaga secara hati-hati, mengantisipasi berbagai kemungkinan yang menghantam. Sehingga Indonesia tidak termasuk daftar negara yang kesulitan pembayaran utang.
Strategi yang dilakukan pemerintah, kata Sri Mulyani, antara lain dengan mengoptimalkan belanja negara sesuai kebutuhan, meningkatkan pendapatan negara yang kini mendapatkan berkah harga komoditas internasional dan kerja sama dengan Bank Indonesia (BI).
“Kita menjaga secara hati-hati dan prudent karena kita lihat tekanan seluruh dunia meningkat,” tandasnya.