JAKARTA, HOLOPIS.COM – Granada menjadi kota penting selama era menjamurnya taifa di Andalusia. Pendiri Emirat Granada adalah Muhammad bin Al-Ahmar, yang memanfaatkan perselisihan Dinasti Almohad di Maroko pada 1230 untuk mendirikan Dinasti Nasrid.
Wilayah Semenanjung Iberia telah ditaklukkan oleh umat Muslim sejak abad ke-8. Pada 1230, Granada masih menjadi kekuasaan Kekhalifahan Almohad di Maroko.
Setelah masa kekhalifahan berakhir, pengujung abad ke-11, suku Amazigh (Berber) atau yang lebih dikenal Zirids berpindah dari Cordoba untuk mendirikan kerajaan sendiri. Mereka kemudian mendirikan Granada.
Yahudi dan Muslim bermigrasi dari kota terdekat, Elvira, ke Granada. Saat itu, Yahudi Iberia menjadi penghuni mayoritas kota itu. Sementara, Muslim yang bermigrasi ini mulai membangun sebuah kota di kaki pegunungan Sierra Nevada.
Pada pertengahan abad ke-13, Fernando III berkeliling dari kota ke kota, termasuk kota hunian komunitas Muslim, Sevillla dan Cordoba. Untuk mencegah invasi raja Kristen, pemimpin kota Granada, Muhammad Ibnu Ahmar, membuat sebuah aturan. Aturan ini mengharuskan Ibnu Ahmar membayar upeti tahunan dan membantu pertahanan militer Fernando.
Ibnu Ahmar dan keturunannya yang kemudian dikenal sebagai Dinasti Nasrid, memimpin Kerajaan Granada selama beberapa abad. Selama masa kepemimpinan mereka, para imigran Muslim dan Yahudi dari kota-kota taklukan Kristen, berpindah ke Granada. Granada menjadi kota terakhir.
Kepemimpinan Islam tetap berdiri. Pada 1492, Isabella dan Ferdinand memaksa pemimpin dinasti Muslim terakhir, Boabdil, untuk menyerahkan Granada.
Langkah ini menjadi sinyal berakhirnya era emas Andalusia. Mayoritas Muslim yang tetap memilih bertahan di Granada dibandingkan pindah ke Afrika Utara, harus berasimilasi dengan Katolik sebagai Moriscos dan Marranos. Sejak itu, warga Kristen dari utara beramai-ramai pindah ke selatan.
Pada abad ke-18 dan ke-19, Granada diperluas. Hari ini, Granada adalah kota metropolitan dengan populasi 500 ribu jiwa. Warisan kota tua Islam masih bisa dijumpai di sana, salah satunya Albaicin. Kawasan kecil itu masyhur di kalangan pelancong sebagai pusat kafe dan kerajinan tangan.
Atraksi wisata lain di Granada adalah Alhambra. Dinasti Nasrid membangun kompleks istana yang amat luas di sebuah bukit. Taman, air mancur, dan lapangan-lapangan yang tersisa berhasil menarik setidaknya enam juta wisatawan tiap tahun. Karena itu, situs ini menjadi salah satu situs bersejarah paling banyak dikunjungi wisatawan di Eropa.
Menurut Iskander Nabiulin dalam Andalusia: The Return of Islam in Europe, Alhambra berasal dari kata serapan Bahasa Arab, al-hamra, yang berarti merah.
Dalam kunjungannya ke sana, Nabiulin menilai, meski lima abad sudah kepemimpinan Islam berlalu dari Granada, pengaruh bangsa Moor (Muslim) masih amat terasa pada arsitektur, pakaian, dan kegiatan keseharian masyarakat.
Berada di perbatasan peradaban timur dan barat, para hippies dan Rastafian mudah ditemui di Granada hari ini. Mereka membawa atmosfer kemerdekaan di sana.