“Sistem setelah Nabi itu dibangun sebagai hasil ijtihad yang hasilnya ber-macam-macam dari era ke era dan dari area ke area. Sekarang saja ada minimal 57 sistem bernegara hasil ijtihad ummat Islam. Apakah Antum menentang hadits tentang Ijtihad?,” paparnya.

Walaupun tidak ada sistem baku yang bisa diterapkan seperti yang dijalankan oleh Rasulullah, Mahfud memberikan garis bawah besar bahwa ada substansi yang harus dipegang bersama-sama sebagai panduan dan rujukan.

“Negara menurut Islam yang sesuai ajaran nabi itu maqashid al syar’i atau substansinya, yakni, keadilan, kemakmuran, kejujuran, atau mashlahahnya. Maqashid syar’i bernegara itu sama, tapi sistem berbeda-beda,” jelas Mahfud.

Inilah yang akhirnya membawa perspektif Mahfud mengapa mendirikan negara seperti Nabi tidak boleh dan cenderung haram. Namun negara yang dijalankan oleh umatnya tetap harus memegang prinsip Islami.

“Menurut saya, mendirikan bernegara seperti sistem yang dibangun Nabi itu haram, bisa murtad. Sebab hal itu bisa berarti harus ada Nabi baru untuk menjadi pemimpinnya. Padahal Nabi Muhammad adalah khatam al Nibyyiien atau Nabi terakhir. Makanya yamg terpenting adalah maqashid syar’ie bukan sistemnya,” papar Mahfud lagi.

Kesimpulan dari penjelasan Mahfud kepada Imam Sjamsi Ali tersebut adalah ; bahwa mendirikan negara adalah wajib dan menjadi sunnatullah. Sementara hukum setelah Rasulullah adalah hasil ijtihadiyah yang tetap berpedoman pada Alquran dan as Sunnah. Kondisi ini yang membuat bernegara setelah Rasulullah bukan simbolik melainkan substansial.

“Mendirikan negara itu wajib, fitrah, sunnatullah. Setelah Nabi Muhammad tidak ada lagi Nabi dan wahyu Quran sehingga hukum baru harus dibuat dengan ijtihad. Al’ibrah fil Islam bil jawhar laa bilmadzhar (Bernegara dalam Islam yang penting substansi, bukan sistem-simboliknya),” pungkasnya.