JAKARTA, HOLOPIS.COM – Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng ke masyarakat menjadi tanya tanya besar ketika belum diketahui darimana basis data yang digunakan oleh pemerintah.
Anggota Komisi VI DPR RI Intan Fauzi mempertanyakan apakah penerima BLT minyak goreng ini dipastikan akan dapat tepat sasaran.
“Data 2,5 juta penerima penjual gorengan itu basis datanya dari mana? kemudian kalau PKH dan BNPP mungkin jelas walaupun selama ini juga masih ada polemik, tapi kalau bicara penjual gorengan 2,5 juta itu basis datanya apa?” kata Intan, Selasa (5/4).
Berdasarkan data yang ia dapat, kebutuhan minyak goreng pedagang perhari adalah 2-4 liter. Hal ini berarti setiap bulannya pedagang membutuhkan minimal 60 liter minyak goreng.
“(Beli) 60 liter (dengan bantuan) Rp100.000, tentu tidak mencukupi. Karena Rp100.000 kalau kita bicara saja minyak goreng curah sebulan Rp14.000, artinya tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka. Jadi sebetulnya ini tidak menyelesaikan permasalahan, baik permasalahan jangka pendek bagi para UMKM sendiri ditambah juga jangka panjang yang tentu diharapkan masyarakat adalah tidak berulang setiap tahunnya,” jelasnya.
Intan juga mengatakan, ketika BLT ini akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga penerima Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) serta 2,5 juta pedagang kaki lima (PKL) sebesar Rp300.000 untuk bulan April, Mei, dan Juni. Intan mendukung adanya kebijakan BLT ini namun kebijakan ini dinilai hanya dapat membantu masyarakat dalam jangka pendek.
Sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan aturan Permendag beberapa kali untuk menyelesaikan permasalahan minyak goreng. Terakhir, dalam Permendag Nomor 11 Tahun 2022, minyak goreng kemasan akan diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga pengusaha diberikan kebijakan dan keuntungan. Namun di sisi lain, masalah minyak goreng curah mengalami kelangkaan dan di pasaran harganya masih melebihi HET Rp14.000.
Permasalahan inti minyak goreng sebenarnya adalah dimana Indonesia merupakan penghasil terbesar kelapa sawit, tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga sampai terjadi kelangkaan. Seharusnya sebagian besar produksi kelapa sawit dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu baru kemudian sisanya dapat dilempar ke luar negeri untuk ekspor.
“Jadi sebetulnya inti permasalahan (minyak goreng) harus diselesaikan. (Penyaluran) BLT silakan, artinya ini membantu masyarakat dalam jangka pendek,” bebernya.
intan kemudian menyarankan, untuk menyelesaikan permasalahan mengenai minyak goreng yang terus menerus berlarut ini adalah dengan pemerintah seharusnya dapat lebih memberdayakan perkebunan rakyat untuk kemudian membuat pabrik skala kecil sehingga dapat memenuhi kebutuhan wilayah sekitar. Karena saat ini teknologi untuk mengolah crude palm oil (CPO) menjadi minyak goreng bukanlah hal sulit.
“Jadi sebetulnya harus mulai diberdayakan UKM-UKM untuk bisa memproduksi minyak goreng dengan juga skala pabrikan kecil dan bisa tersebar. Satu biaya logistik bisa tertalangi, dua tandan buah segar dari petani bisa diserap, kemudian yang ketiga bisa memenuhi kebutuhan lokal produksi di situ,” terangnya.
Intan yakin dengan memberdayakan petani dan UKM ini, Indonesia dapat mencapai kemandirian pangan dan stabilisasi harga bahan pangan terutama minyak goreng. Dengan melibatkan UKM dan petani perkebunan rakyat sampai dengan hasil produksi akhir, ini juga dapat memberi nilai tambah akhir dimana masyarakat bukan hanya menjual tandan buah kelapa sawit segar tapi juga menjadi produk akhir minyak goreng.
“Apapun kebijakan yang diambil, Rp300.000 untuk 3 bulan dan penerima 20,5 juta masyarakat penerimanya itu PKH dan BPNT kemudian 2,5 juta penjual gorengan, tentu itu dalam rangka penanganan secara cepat dan jangka pendek. Tapi yang kita harapkan adalah penanganan ini tentunya sustain artinya betul-betul bisa menyelesaikan permasalahan,” pungkasnya.