Namun, ketika inginan yang besar untuk melakukan perubahan nasib dari situasi tertindas dan terjajah dalam kacamata tertentu, menuju ke situas yang didambakan yakni merdeka atas kekayaan alam yang ada, sementara caranya adalah dengan melakukan penyerangan kepada pihak-pihak yang tidak bersalah, tentu Aziz sangat tidak setuju.
“Contohnya apa, ya itu di Papua, mereka mau merdeka, itu radikal juga dong, mereka mau berubah dari yang tadinya ‘dijajah’ atau diokupasi oleh Indonesia, (mereka) mau merdeka, mau berubah nggak, mau. Caranya gimana? caranya dengan dia bunuh TNI, bunuhin nakes, bunuhin rakyat, boleh nggak? ya nggak boleh. Kalau itu yang dikatakan radikal yang harus kita berantas, kita setuju,” tegasnya.
Terakhir, Aziz mengharapkan agar pemerintah dan aparat keamanan seperti Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dan BNPT terbuka saja untuk berdialog, meluruskan seperti apa kadar dan pemahaman mereka terhadap radikalisme tersebut. Sehingga masyarakat tidak bias melihat ruang gerak pemerintah dan negara dalam konteks penanggulangan terorisme dan menangkal radikalisme.
“Tadi kalau ada Polisi, kita bisa berdiskusi apa ukuran radikal, sehingga kalau tidak (ada standarnya) maka maknanya akan bias, sehingga media asal sebut radikal radikul,” pungkas Aziz.