JAKARTA, HOLOPIS.COM Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mempersilakan Fadli Zon untuk menggelar debat sejarah dengan para perancang naskah akademik di balik Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

“Silahkan, langsung ajak sendiri kalau mau debat, Pak,” kata Mahfud, Sabtu (5/3).

Ia mengatakan bahwa Fadli Zon bisa menghubungi langsung orang-orang yang menjadi tim perancang naskah akademik tersebut, termasuk salah satunya adalah Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.

“Pak Fadli Zon kan bisa hubungi dia, bahkan bisa juga langsung ajak debat ke Gubernur DIY,” jelasnya.

Diterangkan Mahfud, bahwa naskah akademik tentang peristiwa serangan 1 Maret 1949 tersebut disusun sejak tahun 2018 oleh Pemda DIY dan para sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UMG) Jogja.

Namun untuk kegiatan debat tersebut, Mahfud tak bersedia menjadi fasilitator. Alasannya, ia bukan bagian dari perancang naskah akademik tersebut, sekaligus ia tak memiliki waktu untuk itu.

“Tim naskah akademik Pemda DIY dan sejarawan UGM itu sudah berdiskusi sejak 2018. Saya rak (tidak) ikut di sana. Saya juga tak sempat jadi panitia debat,” pungkasnya.

Sebelumnya, Fadli Zon menantang debat terbuka soal sejarah peran besar Jenderal Besar TNI (purn) Soeharto di dalam peristiwa serangan 1 Maret 1949 tersebut.

Hal ini dikatakan Fadli sebagai protes mengapa nama Soeharto tak dicantumkan di dalam naskah Kepres Nomor 2 Tahun 2022 itu.

“Pak Mahfud MD, mari ajak diskusi atau debat saja sejarawan di belakang Keppres itu. Kita bisa adu data dan fakta. Tapi jangan belokkan sejarah!,” kata Fadli Zon.

Dan beberapa waktu sebelum tantangan Fadli itu dilontarkan ke publik melalui akun Twitter pribadinya @fadlizon, Mahfud sudah menerangkan alasan mengapa nama Soeharto tak tertulis di dalam Kepres tersebut.

Diterangkan Mahfud, bahwa tidak dicantumkannya nama Soeharto dan para tokoh nasional lainnya tak berarti menghilangkan fakta sejarah peran mereka. Akan tetapi ditegaskan Mahfud, bahwa Kepres bukan buku sejarah yang harus mencantumkan secara rigid.