JAKARTA, HOLOPIS.COM – Sudah genap dua tahun masyarakat Indonesia berhadapan dengan situasi pandemi Covid-19, terhitung sejak pemerintah mengumumkan kasus pertama Covid-19 pada 2 Maret 2020 lalu.
Sejak saat itu, penambahan kasus Covid-19 di Indonesia mengalami pasang surut, seiring dengan kemunculan varian Covid-19. Tercatat sedikitnya ada empat varian Covid-19, yakni Alpha, Beta, Delta, dan teranyar Omicron.
Selama dua tahun ini, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mencatat, total warga Indonesia yang terinfeksi mencapai 5.630.096 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.944.237 dinyatakan sembuh dan 149.036 orang lainnya meninggal dunia. Sementara kasus aktif hingga saat ini masih ada 536.823 kasus.
Dua tahun telah berlalu, banyak yang terjadi dan berubah selama pandemi melanda. Berbagai kebijakan dibuat, sebelum akhirnya pemerintah menyiapkan skenario transisi dari pandemi menuju endemi.
Pada tahun pertama pandemi misalnya, pemerintah merasa gamang dalam memutuskan kebijakan yang akan diambil. Pemerintah tak langsung menerapkan penguncian wilayah atau lockdown saat itu.
Padahal, dalam Undang-undang (UU) nomor 6 tahun 2028 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah berhak mengambil kebijakan penguncian wilayah untuk mencegah kemungkinan penyebaran. Selain itu, UU tersebut juga mengatur tentang hak-hak dan jaminan warga ketika penguncian wilayah berlangsung.
Namun, pemerintah saat itu tak mengambil kebijakan tersebut. Akibatnya, muncul kritikan keras dari berbagai elemen masyarakat yang menduga pemerintah ogah memenuhi jaminan sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Dibanding penguncian wilayah, pemerintah lebih memilih untuk melakukan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB). Namun, kebijakan itu tak bertahan lama. Sejak saat itu, pemerintah kerap gonta ganti kebijakan.
Beberapa kebijakan itu mulai dari PSBB transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro sampai PPKM dengan skema level seperti yang diterapkan saat ini.
Namun sejumlah kebijakan itu dianggap kurang ampuh. Pada pertengahan 2021, saat varian Delta mulai masuk, kasus Covid-19 di Indonesia melonjak tinggi, tenaga kesehatan berguguran dan rumah sakit kolaps.
Para periode Juni sampai Agustus 2021, pertambahan kasus harian konsisten di atas 10.000 kasus per hari.Hal itu berimbas pada tingginya tingkat keterisian tempat tidur (BOR) di sejumlah rumah sakit rujukan.
Pada 8 Agustus, Kemenkes melaporkan, BOR di 16 kabupaten/kota mencapai 100 persen. BOR ICU dan isolasi di 12 kabupaten/kota turut mencapai 100 persen. Beberapa RS bahkan sampai membuat tenda untuk menambah kapasitas pasien yang membludak. Saat itu Indonesia dijuluki episentrum pandemi Covid-19 di dunia oleh media asing.
Kondisi tersebut berlangsung cukup lama. Hingga pada akhirnya, kasus mulai mengalami tren penurunan saat memasuki tahun 2022.
Belakangan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN), Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan sederet skenario yang disiapkan pihaknya dalam menghadapi masa transisi pandemi virus Covid-19 menjadi endemi di Indonesia.
Luhut memaparkan sederet indikator yang harus dicapai sebagai tolak ukur penetapan status endemi Covid-19 di Indonesia.
Beberapa indikator tersebut yakni, tingkat imunitas atau kekebalan komunal yang tinggi. Selain itu, kenaikan kasus Covid-19 harus rendah, hingga kapasitas fasilitas kesehatan yang memadai. Dijelaskan Luhut, situasi prakondisi tersebut harus terjadi dalam rentan waktu yang lama, stabil, dan konsisten.
Meski begitu, indikator tersebut akan terus diperbarui dan disempurnakan dengan berdasarkan pada saran dari pakar dan ahli. Target tingkat vaksinasi dosis dua dan ketiga, terutama kepada sasaran warga lanjut usia (lansia) juga harus terpenuhi.