JAKARTA, HOLOPIS.COM Langkah pemerintah dalam pengaturan regulasi mengenai BPJS Kesehatan dinilai tidak konsisten dalam 10 tahun terakhir dan malah terkesan amatiran.

Anggota komisi 1 DPR RI Fadli Zon berpendapat, tata kelola institusi tersebut saat ini justru membuat pesertanya alami kebingungan. Di satu sisi dari aspek iuran ingin dimaksimalkan, namun aspek manfaatnya justru terus-menerus dikoreksi.

“Jika cara kerja Pemerintah seperti itu, bagaimana orang akan tertarik menjadi peserta?” kata Fadli, Selasa (1/3).

Pernyataan Fadli, merespon langkah Presiden Jokowi yang telah menandatangani Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Inpres tersebut ditujukan ke beberapa kementerian, kepolisian hingga kepala daerah tingkat I dan II secara vertikal, termasuk yang menjadi mitra Komisi I DPR RI seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Inpres ini mempersyaratkan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik, mulai dari SIM, STNK, SKCK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga ke soal keimigrasian.

Salah satu poin dalam Inpres tersebut yang dinilai tidak adalah terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dimana Inpres tersebut mewajibkan PMI untuk menjadi peserta aktif BPJS selama berada di luar negeri.

“Ini kan aneh. Di satu sisi buruh migran wajib menjadi peserta BPJS, tetapi layanan BPJS sendiri tak bisa menjangkau mereka,” tukasnya.

Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini bahkan menilai Inpres tersebut dikeluarkan semata-mata hanya untuk mengejar dan mengumpulkan dana publik sebanyak-banyaknya. Mulai dari isu dana JHT (Jaminan Hari Tua) di BPJS Ketenagakerjaan, hingga syarat kepesertaan BPJS Kesehatan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2022.

“Isu pokoknya sebenarnya bukanlah untuk melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat, melainkan negara sedang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perah untuk menjaga kesetimbangan moneter dan fiskal Pemerintah,” tegasnya.

Keamatiran lainnya yang terlihat menurut Fadli adalah ketika bongkar-pasang regulasi tersebut saat Oktober 2019 lalu, Jokowi pernah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kelas I dari semula Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan, kemudian Kelas II dari semula Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan serta Kelas III dari semula Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.

“Namun, pada bulan April 2020, Perpres itu dinyatakan tidak berlaku, sehingga besaran iuran BPJS kembali menjadi seperti yang diatur oleh Perpres No. 82 Tahun 2018, yaitu tarif sebelum kenaikan itu terjadi,” bebernya.

Anehnya, pada Mei 2020, Jokowi malah kembali mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang merevisi kembali iuran BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Juli 2020, dimana iuran Kelas I ditetapkan jadi Rp150 ribu; Kelas II Rp100 ribu; dan Kelas III Rp42 ribu.

“Bongkar pasang regulasi hanya dalam hitungan bulan semacam itu tentu saja sangat membingungkan para peserta BPJS,” imbuhnya.

Yang terbaru saat ini justru menurut Fadli, adalah ketika pemerintah berencana menghapuskan kelas rawat inap BPJS, namun hingga saat ini peserta masih ditarik iuran berdasarkan kelas.

“Ini kan tidak adil bagi peserta yang membayar iuran lebih mahal. Bisa jadi peserta selama ini membayar iuran Kelas I, tetapi saat giliran mereka mengklaim manfaat, mereka hanya bisa mengklaim standar rawat inap yang saat ini sebenarnya milik Kelas II,” pungkasnya.