“Diketahui bisa dari lingkungan, browsingnya apa, temannya siapa, dan sebagainya. Jadi aksi teror saat ini lebih ke sel keluaraga bukan kelompok besar. Kalau kelompok JI dan JAD akan terpantau dan terlihat. Maka dari itu, akhir-ahir ini teror berasal dari sel keluarga, sel kecil agar tidak terlihat jelas dan tidak terdeteksi,” tutur Stanislaus.

Ini juga yang mengafirmasi mengapa beberapa terduga teroris yang telah ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri dewasa ini telah membuat orang-orang terdekatnya kaget dan tak menyangka bahwa oknum masyarakat tersebut terpapar paham radikalisme dan terorisme.

Terorisme Bukan soal Agama

Lebih lanjut, sebagai seorang peneliti terorisme dan keamanan, Stanislaus menegaskan bahwa ia sama sekali tidak menemukan korelasi antara terorisme dengan agama, keduanya sangat berbeda jelas. Namun ia tidak menampik jika kelompok teroris bisa saja muncul dengan menggunakan atribut agama tertentu, namun ditekankannya lagi bahwa itu bukan representasi dari agama.

“Aksi teror tidak dibenarkan di agama manapun. Apapun alasannya,” tegasnya.

Kemudian, Stanislaus menentang kepada siapapun yang menganggap bahwa teroris adalah representasi dari agama tertentu, Islam misalnya. Bahkan ia akan menjadi orang yang paling depan menentang stigman yang salah itu.

“Ini berhubungan dengan pemikiran. Terorisme itu adalah mereka yang salah dalam memahami agama memang iya. Jika ada oknum yang menggunakan agama untuk pembenaran ini, jangan malah agamanya yang dimusuhi. Jadi semua agama harus berkumpul melawan terorisme. Terorisme ini musuh agama,” pungkasnya.