JAKARTA, HOLOPIS.COM – Terorisme adalah salah satu paham yang sangat membahayakan dan menjadi momok tersendiri di kalangan masyarakat dunia, bahkan Indonesia. Kelompok baik yang melakukan doktrinasi maupun yang memang hanya terpapar bisa menjadi ancaman tersendiri ketika mereka melakukan aksinya.
Apalagi, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian RI (Polri) sepanjang 2021 telah menangkap setidaknya 370 tersangka teroris. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2020 sebanyak 232 orang.
Oleh karena itu, pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta pun memberikan peringatan kepada masyarakat luas tentang bahaya dan ancaman kelompok teroris saat ini. Penelitik pergerakan dan isu terorisme ini menyampaikan, bahwa kelompok teroris sudah memiliki mekanisme baru untuk menjaring simpatisan.
Jika dahulu mereka melakukan lobi dan doktrinasi secara terang-terangan, bahkan hingga melakukan berbagai rangkaian serangan aksi pengeboman, kali ini mereka lebih soft lagi. Bahkan bisa saja masyarakat sekitar tidak menyadari bahwa kelompok ini sudah melebur seolah menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Inilah yang akhirnya membenarkan mengapa banyak basis masyarakat sampai ada yang disusupi oleh kelompok teroris, baik itu organisasi kemasyarakatan, perusahaan baik swasta maupun negeri, bahkan organisasi keagamaan sekalipun.
“Kalau mereka menggunakan cara kekerasan seperti bom dan lain-lain, akan merugikan mereka sendiri. Mereka mengubah strategi menjadi soft, jadi bisa menyusup ke masyarakat banyak, ke posisi strategis. Ke BUMN, organisasi dan sebagainya,” kata Stanislaus beberapa waktu lalu dalam webinar yang digelar oleh Pemuda Moeslim Jayakarta secara virtual.
Strategi penyusupan kelompok teroris ini menurutnya sangat berbahaya, karena mereka sulit sekali teridentifikasi oleh aparat keamanan, khususnya yang berkaitan dengan penanggulangan terorisme di Indonesia.
“Dan ini justeru berbahaya, karena tidak diketahui dan kurang diwaspadai,” imbuhnya.
Jika kelompok yang afiliasinya sudah jelas dan terdeteksi oleh aparat, biasanya masing-masing dari mereka dipantau oleh minimal 1 (satu) orang intelijen. Tujuannya adalah untuk memonitor pergerakan mereka, sembari mengumpulkan bukti-bukti kuat, sehingga saat ada penangkapan, jaringan teroris ini tidak bisa mengelak lagi.
“Setiap orang yang dicurigai, akan dipantau dan diamati. Dipantau tidak harus diikuti tiap hari, tapi bisa lewat teknologi, komunikasinya dan transaksinya. Maka dari itu jika ada yang ditangkap, akan ada pengembangan dan penangkapan lainnya. Karena nanti di alat komunikasi yang disita akan diketahui komunikasi dengan siapa, dana dari siapa, dan sebagainya. Ini teknis intelijen sih,” paparnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar literasi kepada masyarakat agar tidak mudah terdoktrin kelompok teoris, sekaligus bisa mengidentifikasi kehadiran kelompok teroris itu di sekitar mereka.
Dan dilemanya, karakter kelompok teroris ini tidak linier seperti dahulu, yakni pendiam dan cenderung tertutup. Akan tetapi mereka lebih membaur dan selalu menciptakan kesan baik. Inilah menurut Stanislaus yang membuat mereka seolah diterima oleh lingkungannya sehingga tidak diketahui bahwa mereka adalah bagian dari jaringan teroris.
“Jadi kelompok ini beradaptasi. Adaptasi ini yang harus diikuti, ketika beraktivitas di masyarakat, masyarakat harus dikuatkan. Jangan sampai kalau kelewatan maka akan kecolongan dia melakukan aksi. Jangan sampai nanti mereka melakukan aksi malah dipuji karena kesehariannya baik,” paparnya.
“Mereka memang melakukan hal wajar agar bisa masuk ke masyarakat, setelah dipercaya baru mereka melakukan radikalisasi dan doktrinasi,” imbuhnya.
Apalagi kata Stanislaus, afiliasi jaringan teroris ini tidak selalu dilakukan melalui doktrin langsung, akan tetapi bisa melalui doktrin internet. Inilah yang membuat jaringan lone wolf banyak dan berpotensi menjadi klaster keluarga. Dari sisi ini, alumnis Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI) itu berharap besar agar penguatan deradikalisasi dikuatkan di kalangan keluarga, setidaknya mereka bisa peka jika ada anggota keluarganya terpapar paham radikalis dan terorisme.