“Nah, yang sekarang ini kita tunggu saja MK menilai gugatan Pak Gatot dan yang lain-lain. Tidak ada problem kalau masalah threshold ini diuji terus karena hal itu adalah hak setiap warga negara,” paparnya.

Sejauh ini, pemerintah tak mengintervensi apapun soal gugatan PT 0 persen itu. Ia memilih membiarkan saja dinamika tersebut bergulir, sepanjang tidak ada hukum yang dilanggar.

“Ini semua sekaligus agar demokrasi dan nomokrasi bekerja dengan proporsional dan terus maju secara dinamis,” tegasnya.

Oleh karena itu, Mahfud menyerukan agar semua pihak menghargai orang-orang yang mengajukan gugatan karena bagian dari konsekuensi logis dari demokrasi, begitu juga penghormatan kepada putusan majelis hakim pun harus dilakukan karena itu bagian dari nomokrasi sebagai penyeimbang demokrasi.

“Kita jaga lah keseimbangan antara demokrasi dan nomokrasi, sebab demokrasi tanpa nomokrasi bisa anarki, sedang nomokrasi tanpa demokrasi bisa otoriter,” pungkasnya.

Perlu diketahui, bahwa Gatot Nurmantyo telah mengajukan gugatan PT 0% di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menggandeng dua kuasa hukum yakni Refly Harun dan Muhammad Salman Darwis.

Sidang putusan perkara nomor 70/PPU-XIX/2021 tersebut dijadwalkan bakal digelar pada hari Kamis (24/2) besok di gedung MK secara virtual karena situasi masih dalam kondisi pandemi Covid-19.

“Sidang diputuskan pada Kamis 24 Februari 2022, pukul 09.30 WIB. Pemohon Gatot Nurmantyo. Kuasa Refly Harun, Muh Salman Darwis,” tulis situs MK dikutip pada Rabu (23/2).

Refly Harun juga mendampingi dua sidang lainnya di waktu yang sama. Refly menjadi kuasa hukum dari Politikus Partai Gerindra Ferry Juliantono.

MK juga akan memutus permohonan dari beberapa anggota DPD RI, termasuk Fahira Idris. Selain anggota DPD RI, MK juga akan memutus pengajuan oleh ASN DPD RI Ikhwan Mansyur Situmeang.

Pada pokok permohonannya, Gatot meminta MK menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan konstitusi. Dia menilai aturan itu bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), 6A ayat (2), dan 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.