“Pemerintah Indonesia di bawah Jokowi memiliki posisi politik yang jelas dalam isu-isu keislaman, yaitu mendukung posisi Islam yang moderat, dan karena itu mengampanyekan gagasan ‘moderasi Islam’. Kebijakan pemerintah jelas: membatasi ruang gerak bagi ide-ide Islam ‘kanan’,” papar Gus Ulil.

Hanya karena memilih sikap mendukung islam moderat dan membatasi ruang gerak kelompok islam garis kanan semacam itu, menurut Gus Ulil tidak bisa serta merta diberikan label fobia pada Islam.

“Posisi pemerintah seperti itu jelas bukan menandakan adanya Islamofobia. Bagaimana pemerintah Jokowi bisa disebut Islamofob dan ‘anti-Islam’, wong presiden, wakil presiden, dan menteri-menterinya mayoritas beragama Islam. (Jadi) istilah Islamofobia di sini dipakai secara tidak tepat,” tegasnya.

Lantas apakah di Indonesia ada Islamofobia, dan menurut Gus Ulil ternyata tidak dipungkiri bahwa memang itu ada, akan tetapi berkembang hanya terbatas di kalangan kelompok yang amat kecil di luar Islam.

“Tapi itu kecil sekali,” terangnya.

Sejauh yang ia tahu, justeru banyak kalangan non muslim di Indonesia yang sangat menghargai Islam yang moderat. Bahkan banyak dari mereka pula yang menghargai, bahkan mengagumi tokoh-tokoh Islam seperti Gus Dur, Buya Syafi’i Maarif, Gus Mus, Kiai Said Aqil, dan lain sebagainya.

“Dengan kata lain, di Indonesia saat ini kita tidak bisa membesar-besarkan isu Islamofobia. Jika ada kalangan yang tidak suka pada kelompok Islam konservatif atau garis keras, itu bukan Islam Islamofobia,” paparnya.

Islamophobia Menurut Gus Ulil

Lebih lanjut, Gus Ulil pun memberikan perspektifnya tentang definisi Islamophobia. Point of view ini diutarakan agar jangan lagi ada kesalahan dalam penempatan diksi Islamophobia di kalangan masyarakat.

“Menurut saya, Islamofobia maknanya dua: (1) Menganggap bahwa semua umat Islam adalah sama, yaitu jahat dan teroris; (2) Pandangan yang serba ‘esensialistik’ dan menyederhanakan tentang umat Islam. Misalnya: setiap muslimah yang memakai cadar adalah teroris,” jelasnya.