JAKARTA, HOLOPIS.COM – Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay menegaskan Komisi IX DPR RI tidak pernah secara khusus membahas rencana akan terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 dengan pemerintah.

 

Hal tersebut diutarakan Saleh menanggapi polemik hadirnya Permenaker tersebut, yang salah satu muatannya adalah menekankan dana Jaminan Hari Tua (JHT) hanya boleh diambil pekerja pada usia 56 tahun.

 

“Kita tidak pernah membahas secara khusus terkait dengan rencana akan mengeluarkan Permenaker, yang bunyinya JHT hanya boleh diambil pada usia 56 tahun. Ini yang tidak ada sebetulnya,” ujar Saleh seperti dilansir dari dpr.go.id, Minggu (20/2).

 

Rapat-rapat kerja yang dilakukan Komisi IX DPR RI bersama Kementerian Ketenagakerjaan selama ini dilakukan secara umum, yaitu agar Kemenaker berupaya agar terjadi peningkatan kesejahteraan para pekerja.

 

Termasuk, salah satunya, adalah melakukan harmonisasi, sinkronisasi, dan penyempurnaan aturan perundang-undangan, termasuk yang ada di BPJS Tenaga Kerja.

 

“Kalau bicara kepentingan buruh, kepentingan pekerja, bagaimana agar kepentingan mereka bisa diamankan, bagaimana tugas negara untuk melindungi seluruh tumpah darah termasuk segmen para pekerja memang adalah tanggung jawab kita. Rapat-rapat itu sering dilakukan, bahkan terbuka disiarkan,” ujar politisi PAN ini.

 

Namun demikian, pembahasan terkait Permenaker tersebut belum pernah dilakukan bersama DPR RI. Oleh karena, dengan terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini sekaligus akan mencabut aturan sebelumnya, yaitu Permenaker Nomor 19 tahun 2015. Jika dicabut, maka aturan di dalamnya juga akan berubah total.

 

“Yang tadinya orang di PHK dari perusahaan tertentu, sebulan kemudian dia sudah bisa cairkan JHT-nya. Kalau sekarang, dengan adanya Permenaker ini, walaupun dia di-PHK tidak bisa diambil dulu JHT-nya, tunggu sampai 56 tahun dulu baru bisa diambil,” tegas Saleh.

 

Meskipun demikian, Saleh memahami bahwa wilayah untuk membuat aturan turunan undang-undang, seperti peraturan menteri tersebut, sepenuhnya berada menjadi otoritas pemerintah.

 

Tugas DPR, tambahnya, hanya sebatas penyusunan UU, lalu aturan di bawahnya, baik Peraturan Pemerintah (PP), Instruksi Presiden (Inpres), hingga Peraturan Menteri (Permen) tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.

 

“Namun, meskipun memang itu wilayah pemerintah, DPR RI tetap bisa awasi. Karena kita tidak mau ada turunan UU yang tidak sesuai dengan semangat dengan UUD 1945 dan UU yang menjadi landasan hukumnya,” tegas legislator daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara II itu.

 

Di sisi lain, menurut informasi yang diterimanya, para buruh yang tergabung dalam serikat pekerja juga tidak pernah dilibatkan saat penyusunan permenaker tersebut. Padahal, tegas Saleh, buruh merupakan elemen tripartit terlebih saat pembahasan kesejahteraan.

 

“Karena itu jangankan DPR, para pekerja yang memang harus masuk dalam tripartit menurut pengakuan mereka itu belum masuk dalam pembicaraan,” tutupnya.