JAKARTA, HOLOPIS.COM Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat bahwa mayoritas kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi di Indonesia, dipicu oleh faktor ekonomi.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Valentina Gintings mengatakan bahwa tren pelaporan kasus KDRT meningkat selama pandemi Covid-19, di saat banyak usaha yang gulung tikar serta para masyarakat yang terkena PHK karena pandemi Covid-19.

“Kebanyakan kasus KDRT terjadi karena faktor ekonomi. Apalagi di masa pandemi ini tren kasus dan angka laporan KDRT meningkat drastis,” ujar Valentina dalam keterangan tertulis, Sabtu (19/2).

Kendati demikian, Valentina tak menyebut terkait angka kenaikan kasus dan laporan mengenai KDRT. Ia hanya menyebutkan data yang tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA), yang mana di dalamnya menyatakan bahwa sepanjang tahun 2021, sudah ada sekitar 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Dari total tersebut, sebanyak 7.608 korban kasus terjadi di rumah tangga.

Menurutnya, peningkatan angka laporan tersebut mencerminkan bahwa masyarakat maupun para korban saat ini sudah lebih sadar dan berani ‘speak up’ atau berbicara mengenai isu KDRT.

“Tapi, masih banyak juga korban yang tidak mau melapor dikarenakan takut akan ancaman yang diterima dan merasa bahwa KDRT adalah aib keluarga yang tidak perlu diketahui oleh lingkungan sekitar,” ujarnya.

Ia mengakui bahwa dalam melaporkan kasus KDRT butuh keberanian yang besar. Untuk itu, Valentina memastikan bahwa pihaknya akan menjamin perlindungan hak privasi pelapor sehingga tak perlu takut untuk melapor.

Lebih lanjut, ia pun menjelaskan terkait beberapa bentuk dan jenis kekerasan yang sering terjadi dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik seperti memukul, mencekik, menendang, menampar, menyiksa dengan alat bantu.

Kemudian, ada kekerasan yang menyerang psikis korban, seperti mengancam, menghina, menakut-nakuti, menyindir, mengolok-olok secara verbal.

Ada lagi kekerasan lainnya yang juga sering dialami oleh para korban, terutama perempuan, yakni Kekerasan seksual.

Adapun kekerasan seksual itu seperti memaksa hubungan seksual, menunjukkan gambar atau video yang mengundang pornografi, pornoaksi dan pelecehan seksual.

Lalu, ada juga KDBT yang sifatnya penelantaran rumah tangga, seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin, meninggalkan keluarga tanpa berita, melarang bekerja tanpa alasan.

Valentina menambahkan, pihaknya juga menyediakan layanan hotline atau layanan khusus bagi mereka yang menjadi korban kekerasan perempuan dan anak untuk melapor.

“KemenPPPA memiliki layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak atau SAPA 129 (021-129) atau WhatsApp 0811 129 129, dimana para korban kekerasan dapat melaporkan kekerasan yang dialami atau diketahui,” terangnya.