JAKARTA, HOLOPIS.COM – Polemik aturan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan ternyata bukan kali ini saja terjadi. Sebelum Kementerian Ketenagakerjaan dipimpin Ida Fauziyah, kisruh JHT pernah muncul. Dan, Polemik tersebut memicu protes serta petisi penolakan kepada Presiden Joko Widodo ketika itu.
Peraturan Pemerintah No 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua ketika itu juga menetapkan JHT baru bisa dicairkan penuh peserta BPJS Ketenagakerjaan setelah berusia 56 tahun.
PP itu ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 30 Juni 2015 dan berlaku 1 Juli 2015. Dan menuai pro dan kontra. Bahkan, muncul petisi penolakan, yang diikuti Oleh aksi demo buruh.
Jokowi kemudian menginstruksikan Menaker kala itu Hanif Dhakiri dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, memastikan pekerja boleh mencairkan JHT sebulan setelah pemutusan hubungan kerja (PHK).
PP 46/2015 kemudian direvisi menjadi PP No 60/2015, disusul Permenaker No 19/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran JHT.
Oleh Menaker Ida, Peraturan itu direvisi kembali menjadi Permenaker 2/2022, menetapkan pencairan JHT penuh baru bisa setelah peserta berusia 56 tahun. Akibatnya, petisi penolakan muncul dan buruh melakukan aksi penolakan dan menuntut Peraturan tersebut dibatalkan dan meminta Menaker Ida mundur dan dicopot dari jabatannya.
Penolakan juga disuarakan Oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, kebijakan itu sesuai peruntukan JHT, namun tidak sensitif pada kondisi masyarakat saat ini.
“Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari pemerintah melainkan hak pekerja pribadi karena berasal dari kumpulan potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh,” kata Puan, Senin (14/2).
Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang diperintahkan langsung Oleh Presiden Jokowi, mengatakan, tujuan kebijakan itu dirancang jangka panjang, untuk memberi kepastian, tersedianya jumlah dana pekerja saat tidak produktif saat pensiun atau cacat atau meninggal.