“Jadi harus sinergi dengan masyarakat, diberi edukasi pendeteksian dini, lalu quick respon. Karena jumlah aparat tidak cukup. Harus dioptimalisasikan dengan pelibatan yang lebih masif dari masyarakat,” tandasnya.

Stanislaus menuturkan, setiap orang yang dicurigai akan dipantau dan diamati. Dipantau tidak harus diikuti tiap hari, tapi bisa lewat teknologi komunikasinya, dan transaksinya. Maka dari itu jika ada yang ditangkap, akan ada pengembangan dan penangkapan lainnya. Karena nanti di alat komunikasi yang disita akan diketahui komunikasi dengan siapa, dana dari siapa, dan sebagainya.

“Ini teknis sih, tidak harus diikuti terus,” paparnya.

Stanislaus menilai kelompok radikal adalah masalah pemikiran, bukan fisik. Oleh karena itu harus ada dialog, lalu pembicaraan aksi dan sebagainya. Mereka melakukan hal wajar agar bisa masuk ke masyarakat, setelah dipercaya baru mereka melakukan radikalisasi dan doktrinasi. Dan perubahan strategi. Inilah yang membuat yang ditangkap seakan biasa saja dan bahkan keluarganya kaget. Biasanya tidak akan terlihat secara fisik.

“Diketahui bisa dari lingkungan, browsingnya apa, temannya siapa, dan sebagainya. Jadi aksi teror saat ini lebih ke sel keluarga bukan kelompok besar. Kalau kelompok JI dan JAD akan terpantau dan terlihat. Maka dari itu akhir-ahir ini teror berasal dari sel keluarga, sel kecil agar tidak terlihat jelas dan tidak terdeteksi,” jelasnya.

“Jadi kelompok ini beradaptasi. Adaptasi ini yang harus diikuti, ketika beraktivitas di masyarakat, Masyarakat harus dikuatkan. Jangan sampai kalau kelewatan maka akan kecolongan dia melakukan aksi. Jangan sampai nanti mereka melakukan aksi malah dipuji karena kesehariannya baik,” tambahnya.

Stanislaus menegaskan, aksi teror tidak dibenarkan di agama manapun. Apapun alasannya. Saat ini teori untuk terorisme, sudah berubah. Dulu ada 6 tahap, tapi sekarang ada langkah cepat menjadi teroris. Jadi ada yang terpaparnya melalui internet, jadi self radikalisasi. Radikalisasi mandiri tapi mereka melakukan aksi. Memang jadinya ceroboh, tapi ini berbahaya.

“Ketika orang melihat ideologi lain, yang radikal, pemerintah harus melihat. Jadi PR, jangan-jangan doktrinasi Pancasila nggak berhasil, orang nggak melihat Pancasila sebagai ideologi. Jadi mereka tertarik ke ideologi lain,” paparnya.

“Lihat saja sekarang situs BPIP, soal doktrinasi Pancasila, Milenial tertarik nggak? Tapi coba jika anak muda lihat soal ideologi ISIS, diajarkan apa saja dan sebagainya, jangan-jangan malah mereka lebih tertarik. Jadi kita harus ubah, bagaimana cara kita mendoktrinasi Pancasila ke milenial. Jangan mendoktrinasi dan menguatkan Pancasila ke milenial, tapi malah caranya pakai kolonial. Jangan suruh buat karya tulis, tapi suruh buat konten berhadiah iPhone misalnya. Jadi kita lebih harus menguatkan ke Pancasila, ideologi Pancasila perlu didoktrinkan dengan lebih menarik, agar masyarakat terdoktrin dan punya dasar ideologi yang kuat. Dan tanamkan bahwa terorisme dan radikalisme ini musuh bersama,” sambungnya.

Caranya, libatkan mereka, misalnya buat konten dan sebagainya. Jadi doktrinasi kepada anak muda, ya libatkan anak muda. Justru mereka mungkin lebih hebat dari kita. Biarkan mereka yang membuat, yang tua cukup mengawasi saja.