JAKARTA, HOLOPIS.COMKoordinator BPJS Watch, Indra Munaswar menilai bahwa Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua adalah bentuk ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi sosial kaum pekerja atau buruh di Indonesia.

Apalagi di situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini yang memberikan peluang besar bagi para pekerja kehilangan pekerjaan mereka.

“Semakin membuktikan Pemerintah dalam hal ini Menaker RI tidak punya kepekaan sosial terhadap kondisi sebagian besar rakyat Indonesia di dalam era Covid-19 ini,” kata Indra dalam keterangannya, Minggu (13/2).

Dijelaskan Indra, fakta di lapangan bahwa saat ini semakin banyak pekerja yang mengalami PHK baik karena perusahaannya tutup atau melakukan efesiensi, atau kontrak kerja tidak diperpanjang lagi. Dan di antara mereka tidak mendapatkan pesangon.

Padahal usia mereka umumnya kisaran 30 – 35 tahun, yang sudah sulit mendapatkan pekerjaan. Maka andalan satu-satunya bagi mereka untuk menopang kehidupannya beserta keluarganya adalah tabungan JHT yang tidak seberapa besarannya.

Kemudian, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 saat ini memberikan batasan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa diberikan ketika seorang pekerja meninggal dunia, mengalami cacat tetap atau memasuki pensiun di usia 56 tahun.

Padahal kata Indra, jika merujuk pada aturan sebelumnya, buruh yang terkena PHK maupun resign atau mengundurkan diri bisa tetap mendapatkan haknya itu maksimal setelah 1 bulan menunggu.

Aturan tersebut termatub di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2015. Dan kata Indra pula, Permen tersebut merupakan diskresi oleh Pemerintah untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur lebih rinci di dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua.

“Ketentuan-ketentuan tersebut dihapus dalam Permenaker Nomor 2 tahun 2022, sehingga berakibat menambah kesengsaraan bagi pekerja yang mengalami putus hubungan kerja sebelum masuk usia pensiun 56 tahun,” ujarnya.

Oleh karena itu, Indra pun menegaskan bahwa pihaknya menuntut agar Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mencabut dan membatalkan saja peraturannya itu. Serta mengembalikan regulasinya ke Permen yang sebelumnya.

“BPJS Watch, sama dengan mayoritas serikat pekerja atau serikat buruh menuntut Menaker RI segera mencabut dan membatalkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 dan memberlakukan kembali Permenaker Nomor 19 Tahun 2015,” tuntutnya.

Bagi Indra, tabungan JHT itu adalah murni uang pekerja atau buruh tanpa ada uang negara atau Pemerintah apalagi uang Menaker di dalamnya. Sehingga jangan sampai justru para penerima manfaat program JHT tersebut dipersulit untuk mengakses uang tabungannya sendiri.

“Jangan mempersulit mereka untuk mengambil tabungannya sendiri,” ucapnya.

Terakhir, Indra menegaskan bahwa secara kelembagaan BPJS Watch sama sekali tidak mendukung Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Jika ada pihak yang mengklaim sebagai BPJS Watch namun mendukung Permen tersebut, ia pastikan bahwa sikap itu bukan representasi organisasi, melainkan statemen pribadi.

“Jika ada pernyataan atau sikap dari orang atau pihak yang mengatasnamakam BPJS Watch mendukung Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 itu adalah sikap pribadi yang bersangkutan, dan bukan sikap kelembagaan BPJS Watch,” pungkasnya.