JAKARTA, HOLOPIS.COM Komisi IX DPR RI mengeluhkan sikap masyarakat dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja karena belum pernah membicarakan perubahan mekanisme penarikan Jaminan Hari Tua.

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay bahkan menegaskan, mereka belum mendapat keterangan yang jelas dan lengkap terkait Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022. Dalam rapat-rapat dengan Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan, perubahan tentang mekanisme penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) tidak dibicarakan secara khusus. Bahkan dapat dikatakan, belum disampaikan secara komprehensif.

“Mestinya, rencana terkait penetapan kebijakan ini sudah di-sounding dulu ke DPR. Mulai dari payung hukumnya, manfaatnya bagi pekerja, sampai pada keberlangsungan program JHT ke depan. Dengan begitu, kalau ditanya (masyarakat), kita bisa menjelaskan,” kata Saleh, Minggu (13/2).

Saleh berpendapat, seharusnya pemerintah memastikan setiap aturan tidak merugikan para pekerja. Karena jika penolakan terjadi dikhawatirkan akan menyebabkan tidak efektifnya kebijakan dimaksud.

“Para pekerja kelihatannya merasa sering ditinggalkan. Ada banyak kebijakan pemerintah yang seakan diputus secara sepihak. Mulai dari UU Ciptaker (Undang-Undang Cipta Kerja) sampai pada persoalan upah minum. Hari ini, ada pula persoalan JHT yang hanya bisa ditarik setelah 56 tahun,” terangnya.

“Saya dengar, alasan pemerintah adalah agar tidak terjadi double klaim. Di satu pihak ada jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), di pihak lain ada JHT. Lalu, katanya, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi JHT ke tujuan awalnya,” tambahnya.

Namun masalahnya, menurut Saleh, JKP itu payung hukumnya adalah UU Ciptaker.

“Apakah (aturan JKP) sudah bisa diberlakukan? Bukankah Permenaker ini dikeluarkan setelah putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat? Kalaupun misalnya JKP sudah boleh diberlakukan, lalu mengapa JHT harus 56 tahun? Apa tidak boleh misalnya diambil berdasarkan situasi dan kondisi pekerja? Katakanlah, misalnya, karena kondisi pekerja yang sangat sulit, lalu dibolehkan dapat JKP dan JHT? Atau banyak opsi lain yang dimungkinkan,” tegasnya.

Selain itu, Saleh melihat bahwa kebijakan ini kurang sosialisasi. Artinya, kementerian ketenagakerjaan belum maksimal mengedukasi masyarakat terkait JKP. Kalau betul JKP ini bagus, tentu masyarakat akan mendukung. Permenaker Nomor 2 Tahun 2020 masih sangat layak untuk diperbincangkan di publik. Diskusi publik itu dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, terutama dari kalangan pekerja.

“Kalau hasil diskusi publik itu ternyata menyebut bahwa Permenaker ini merugikan para pekerja, kita mendorong agar Permenaker ini dicabut. Harus dibuka ruang untuk diskusi. Tidak baik juga kalau suatu kebijakan strategis tidak melibatkan pihak-pihak terkait,” pungkasnya.