JAKARTA, HOLOPIS.COM – Sri Sultan Hamengkubuwana VII adalah salah satu raja di kerajaan Yogyakarta. Ia lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Murtejo.
Dan layaknya keturunan darah biru, ia memiliki nama yang sangat panjang, yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga ‘Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Pitu ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ia merupakan putra tertua dari pasangan Sultan Sri Sultan Hamengkubuwana VI alias Gusti Raden Mas Mustojo dan Gusti Kanjeng Ratu Sultan. Ia memegang tongkat estafet kepemimpinan kesultanan Yogyakarta pada tanggal 13 Agustus 1877 menggantikan tahta ayahnya.
Sri Sultan Hamengkubuwono VII efektif memimpin Kerajaan Yogyakarta kurang lebih 44 tahun, yakni mulai 1877 sampai 1921.
Kesultanan Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini cukup terkenal. Karena di eranya itulah, masa transisi menuju modernisasi Yogyakarta. Di era kepemimpinannya, ada 17 pabrik gula didirikan untuk mendongkrak kebutuhan ekonomi kerajaannya.
Karena kesuksesan era pemerintahannya membuat Sri Sultan Hamengkubuwana VII kaya raya. Inilah yang membuat ia dikenal juga sebagai Sinuwun Behi dan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.
Modernisasi yang diprakarsai di era pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII ini juga ditunjukan dengan pendirian sekolah modern, kemudian pengiriman putra putra pilihan untuk belajar ke Belanda.
Selain mendirikan sekolah dan pabrik gula, jalur kereta api dan bangunan bersejarah Pesanggrahan Ambarukmo juga dibangun dan hingga kini masih ada jelaknya.
Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga banyak mempelopori karya di bidang seni. Tari Bedaya Sumreg , Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala adalah contoh karya beliau. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII pula, Tari Bedaya yang semula menggunakan kampuh beralih menjadi menggunakan mekak, namun riasannya tetap menggunakan paes ageng. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini pula, terdapat abdi dalem empu pembuat keris yang menghasilkan keris-keris bagus yang dikenal dengan keris tangguh kaping piton.
Kemudian masih di era kepemimpinannya pun, Tugu Golong Gilig yang sempat hancur akibat gempa pada tahun 1867 direnovasi. Proses renovasi ini melibatkan perancang Belanda bernama YPF van Brussel (pejabat perairan) di bawah pengawasan Patih Danurejo V. Setelah proses perombakan selesai, tugu yang menjadi ikon kota Yogyakarta hingga sekarang itu diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889.
Selain itu, Raja Jogja ini pun memiliki visi jauh ke depan, dengan memberi ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sikap terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan.
Sri Sultan Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Pemakaman Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY Yogyakarta.