Di sisi lain, lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, pemerintah juga harus adil dan konsisten dengan menerapkan prinsip reward dan penalties. Misalnya, bagi perusahaan yang patuh dengan kewajiban DMO, mestinya tetap dapat diperbolehkan untuk ekspor.
“Mumpung harga batu bara tengah tinggi. Sebagai reward bagi mereka, sekaligus upaya untuk meningkatkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak),” tambahnya.
Dipaparkannya, karena persoalan DMO ini sering berulang, ketika harga batu bara tinggi, ke depan semestinya pemerintah membangun sistem pengelolaan neraca batubara yang lebih komprehensif baik di sisi permintaan maupun di sisi pemasokan, sehingga lebih optimal.
Mulyanto mencontohkan, pengguna batubara membeli dengan cara kontrak jangka panjang secara langsung kepada produsen batu bara, tidak melalui trader. Serta manajemen teknis distribusi-logistik lainnya ditata sedemikian rupa, sehingga tidak terganggu perubahan cuaca.
Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk menyetop ekspor batu bara pada 1–31 Januari 2022 guna menjamin ketersediaan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik dalam negeri. Pelarangan ekspor sementara tersebut berlaku untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, serta PKP2B.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), larangan sementara ekspor batu bara ini dilakukan guna memastikan pasokan komoditas itu untuk pembangkit listrik di dalam negeri benar-benar terjamin.