Di era disrupsi ini, lanjut K. Bahrudin, ada pergeseran perilaku masyarakat yang sangat mendasar: dari dunia nyata ke dunia maya. Di dunia maya lah transaksi keuangan, bisnis, dakwah, hiburan, pendidikan, jejaring dan pertemanan dibangun. Dunia, katanya, berubah dengan sangat cepat.
“Kita masih baru kenal mobile internet, sekarang di mana-mana sudah bicara teknologi kecerdasan buatan (artificial Intelligence). Ini tentu besar dampaknya terhadap pesantren. Pesantren tidak lagi cukup hanya mengandalkan aspek korespondensi-tekstual, tradisi menghafal teks-teks keagamaan dan lain-lain, tetapi harus diimbangi dengan dasar-dasar pengetahuan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat secara luas,” katanya.
Sehingga, ujar K. Bahrudin, pembelajaran itu mau tidak mau harus dilakukan dengan pendekatan yang holistik dan tertintegrasi, supaya santri mampu mengakses dan memanfaatkan era revolusi teknologi dengan baik.
Apa yang dilakukan santri dalam kompetisi tersebut, lanjut K Bahrudin, berangkat dari sebuah kesadaran bahwa belajar tidak harus di dalam ruang kelas, tetapi dengan cara turun langsung kepada masyarakat, mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat, ke dalam kegiatan pembelajaran.
“Belajar langsung dari perilaku masyarakat, melakukan riset-riset sederhana terkait problem-problem kemasyarakatan, yang kemudian dituangkan ke dalam kreativitas, untuk kemudian memanfaatkan teknologi sebagai medianya,” katanya.