Perang Gerilya Jenderal Soedirman

Tak lengkap jika kita tak membahas perang gerilya, ketika sedang membahas biografi Jenderal Soedirman. Jenderal Soedirman menjadi saksi atas kegagalan negosiasi dalam perjanjian Linggarjati dan juga Perjanjian Renville dengan tentara colonial Belanda, yang saat itu ingin kembali menjajah Indonesia.

Pada akhir tahun 1948, Jenderal Soedirman melakukan perlawanan terhadap Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta. Jenderal Soedirman melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan bersama kelompok kcil tentara dan juga dokter pribadinya, hingga akhirnya Belanda menarik dirinya.

Setelah Belanda menyerah, Jenderal Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta oleh Presiden Soekarno pada Juni 1949.

Saat pemberontakan di Madiun, kondisi kesehatan Soedirman semakin melemah, dan Soedirman akhirnya didiagnosis mengidap penyakit tuberculosis (TBC) pada tahun 1948.

Pada November 1948, paru-paru kanan Soedirman mengalami infeksi, dan Soedriman pun terus berjuang melawan penyakitnya dengan melakukan pemeriksaan rutin di Panti Rapih Yogyakarta.

Tahun 1949, Jenderal Soedirman dipindahkan ke sebuah rumah di wilayah Magelang. Namun, pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama berbulan-bulan yang berakhir dengan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia.

Walaupun Jenderal Soedriman sedang tak sehat, ia juga diangkat sebagai Panglima Besar TNI di Republik Indonesia Serikat.

Sebulan setelah pengangkatan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI, tepat pukul 18.30 tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Soedirman menghembuskan napasnya yang terakhir di Magelang, Jawa Tengah.

Tanggal 30 Januari 1950, Jenderal Soedirman dimakamkan di Masjid Gedhe Kauman, dan saat ini jenazah dari Jenderal Soedirman sudah dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Semaki.

(Terima Kasih Jendral, semangatmu berkobar di darah kami).