JAKARTA, HOLOPIS.COM Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani menilai bahwa persoalan kekerasan seksual sebenarnya bukan perkara mudah untuk dientaskan di situasi saat ini. Banyak hal yang menjadi pemicu, salah satunya adalah pemahaman masyarakat tentang kekerasan seksual, bahkan perspektif lingkungan yang justru membuat para korban enggan bersuara dan mempersoalkannya ke jalur hukum.

“Analisis sosial tentang struktur masyarakat dan relasi kuasa itu tidak sederhana, itu multi aspek dan multi dimensi bagi kita yang memperjuangkan penghentikan kekerasan seksual,” kata Andy dalam dialog di Ruang Tamu Holopis Channel, Holopis.com dengan tema “Darurat Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia”, Selasa (14/12).

Oleh karena itu, pihaknya dan semua stakeholder yang bergerak di dalam upaya advokasi dan perlindungan para korban kekerasan seksual akan sangat hati-hati. Karena ketika salah langkah sedikit saja, maka yang terancam adalah kesempatan para korban untuk mendapatkan hak-haknya.

“Kalau kita tergelincir saja, bisa jadi korban tidak dapat perlindungan dan mendapatkan haknya,” ujarnya.

Yang sering menjadi hambatan dan rutin ditemui di kalangan masyarakat adalah tentang kepekaan lingkungan para korbannya sendiri. Bisa jadi dari keluarga korban, masyarakat sekitar, bahkan oknum-oknum yang memiliki kekuasaan tertentu menjadi faktor dominan dalam penghambat penanganan kasus kekerasan seksual tersebut.

“Korban menghadapi hambatan luar biasa untuk menceritakan pengalamannya, bahkan banyak tangan kuasa yang tidak terlihat yang berusaha membungkam, bahkan dari keluarga, lingkungan pendidikan hingga elite-elite lain di kalangan masyarakat, sehingga semakin mempersulit korban terbuka,” terangnya.

Di sisi lain, persoalan payung hukum yang sampai saat ini dianggap Andy masih belum bisa memenuhi aspek keadilan bagi para korban. Hal ini karena belum lengkapnya administrasi hukum yang mamadai.

“Tahun 2010 saya pernah memetakan, ada bottleneck terhadap kekerasan seksual. Memang sudah ada UU pornografi, ada UU human trafficing, tapi mengapa kekerasan seksual anak dan perempuan tidak bisa cepat dan tepat ditangani, karena hukum yang ada tidak mencukupi, baik definisi kekerasan seksual dan bahkan ada yang tidak dikenali (oleh hukum) seperti diksi pelecehan seksual,” tandasnya.

Atas dasar itu, ia sangat berharap ada regulasi yang bisa mengakomodir istilah-istilah yang menjadi daftar kekosongan hukum, sehingga para pencari keadilan dalam kasus kekerasan dan kejahatan seksual bisa ditangani dengan baik.

“RUU ini fokus pada isu kekerasan seksual, gak ada urusannya dengan perubahan konstruksi sosial kita,” tegasnya.