Cara mendeteksi HIV

Untuk melakukan pendeteksian terhadap virus HIV ini ada tiga tipe yaitu ; melalui tes PCR (polymerase chain reaction), tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV. Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia. Tes ini sering pula dikenal sebagai tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT).

Kemudian, PCR DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau tidaknya DNA virus. Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif.

Tipe pendeteksian asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.

Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur), dan urin. Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia.

Sampel dari tubuh pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay).

ELISA merupakan sebuah metode penelitian untuk penetapan kadar imunosorben taut-enzim’, merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi.

Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.

Selanjutnya, tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi. Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini jarang digunakan sendiri karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV terbentuk.

Kasus HIV/AIDS di Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bahwa kasus HIV di Indonesia mengalami peningkatan tajam sejak tahun 2010-2019 silam. Di mana pada kasus tahun 2010 tercatat ada 21.591 kasus, kemudian pada tahun 2019 jumlahnya mencapai 50.282 kasus.

Sementara untuk kasus penderita AIDS cenderung landai. Pada tahun 2010 tercatat ada 7.437 kasus, kemudian pada tahun 2019 menurut menjadi 7.036 kasus.

Berdasarkan provinsi, HIV paling banyak terjadi Jawa Timur, yakni 8.935 kasus. Sedangkan, AIDS paling banyak terjadi di Jawa Tengah, yakni 1.613 kasus. Mayoritas penderita HIV/AIDS merupakan laki-laki. Sedangkan berdasarkan usia, penderitanya paling banyak berumur 25-49 tahun.

Tingginya kasus HIV di Indonesia salah satunya disebabkan oleh perilaku seks bebas. Selain itu, hal tersebut karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang perilaku seksual berisiko, pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan, serta penyakit menular seksual.