JAKARTA, HOLOPIS.COM – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan penjelasan tentang fatwa ulama tidak wajib diikuti.
Menurut Mahfud, fatwa adalah sebuah pendapat seseorang atau kelompok yang memiliki kapasitas untuk mengeluarkan pendapat. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan hukum syariat.
Lantas mengapa fatwa ulama tidak menjadi keharusan untuk diikuti, karena fatwa bukan produk hukum positif yang wajib dijalankan. Karena di dalam fatwa pun banyak ulama yang berbeda sudut pandang, salah satunya adalah persoalan ucapan natal dan tahun baru.
“Loh fatwanya kan macam-macam dan beda-beda. Misal, soal ucapan Natal, Bunga Bank, Memilih Pimpinan antara fatwa MUI, NU, Muhammadiyah sering beda-beda,” kata Mahfud dalam kicauan di akun Twitternya, Jumat (25/11).
Dengan perbedaan-perbedaan fatwa semacam itu, Mahfud memandang bahwa siapapun boleh memilih untuk mengikuti dan menjalankan fatwa tersebut atau tidak.
“Jadi boleh ikut atau tak ikut yang mana saja. Itu maksudnya,” ujarnya.
Perspektif Mahfud ini untuk memberikan respon terhadap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga merupakan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tifatul Sembiring.
Di dalam sebuah berita yang dikutip oleh Mahfud, Tifatul menyebut bahwa sebuah fatwa ya sudah sepatutnya diamalkan.
“Tifatul Sembiring: kalau Sudah Difatwakan ya Amalkan dong!,” kutip Mahfud.
Mendapati respon Mahfud tersebut, Tifatul pun menanggapinya. Ia berpandangan bahwa sebuah fatwa harus diikuti oleh orang-orang yang meminta fatwa, karena pada umumnya sebuah fatwa dari ulama atau organisasi tertentu karena ada yang mempertanyakannya.
“Maaf Prof., fatwa itu dikeluarkan ulama kan jika ada yang bertanya tentang suatu masalah agama. Lalu dijawab, tentu yang bertanya harus ikuti itu. Setuju, pendapat ulama itu beda-beda. Silakan minta fatwa kepada ulama yang diyakini. Lalu ikuti. Sesuai perintah Alquran.
Wallahu A’lam bisshowwab,” jawab Tifatul.
Pendapat Tifatul ini pun dibenarkan oleh Mahfud. Namun ia menggarisbawahi bahwa sebuah fatwa tetap tidak menjadi keharusan untuk ditaati karena bukan produk hukum positif di Indonesia.
“Setuju, Ustadz Tif. Secara etis (bukan secara yuridis) jika minta fatwa mestinya fatwanya diikuti. Tapi itu etis saja, tidak harus,” papar Mahfud.
Kemudian, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut pun mengatakan, bahwa setiap fatwa yang keluar baik dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) ataupun organisasi berbasis keagamaan lainnya, tidak selalu berdasarkan karena pertanyaan umat. Terkadang fatwa itu keluar karena untuk merespon suatu peristiwa tertentu.
“Selain itu banyak fatwa MUI, NU, Muhammadiyah, dll. yang dikeluarkan bukan karena ditanya, tapi hanya merespons kontroversi di publik. Misal ; soal Porkas dan memilih pemimpin,” tandasnya.
Di akhir diskusi, keduanya baik Mahfud MD dan Tifatul Sembiring saling legowo dengan pendapat masing-masing. Karena pada pokoknya, Tifatul hanya ingin agar ada pembiasaan patuh pada ulama dengan fatwanya yang sesuai dengan syariat agama, sementara Mahfud memberikan kebebasan bahwa sebuah fatwa boleh diikuti dan boleh juga tidak.
Setuju, Ustadz Tif. Scr etis (bkn scr yuridis) jika minta fatwa mestinya fatwanya diikuti. Tp itu etis sj, tdk hrs. Selain itu bnyk fatwa MUI, NU, Muhammadiyah, dll. yg dikeluarkan bkn krn ditanya tp hny merespons kontroversi di publik. Msl: soal Porkas dan memilih pemimpin. https://t.co/CSvRhbtKzm
— Mahfud MD (@mohmahfudmd) November 25, 2021