Jakarta, Inisiatifnews.com – Ketua bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis menganggap, bahwa munculnya seruan untuk membubarkan MUI hanyalah dinamika sosial di ranah jagat maya saja.

“Anggap aja warna warni Indonesia yang makin bebas bermedsos,” kata kiai Cholil Nafis, Sabtu (20/11).

Ia melihat bahwa orang-orang yang menyerukan MUI bubar sebenarnya belum bisa membedakan mana konteks personal dan mana konteks komunal.

“Mereka yang minta bubarin MUI itu tak bisa membedakan antara personal dan lembaga,” ujarnya.

Bagi kiai Cholil Nafis, keberadaan MUI memiliki sisi yang sangat penting bagi tatanan sosial dan pemerintahan. Di mana perlu ada rujukan syariah untuk pegangan umat, sekaligus mitra kritis pemerintah dalam menjalankan kinerjanya.

“Umat butuh yang mengayomi dan yang sekaligus mitra pemerintah. Itulah yang diperankan oleh MUI saat ini, khadimul ummah wa shadiqul hukumah,” terangnya.

Statemen kiai Cholil Nafis ini sekaligus merespon sikap pemerintah pusat melalui Menko Polhukam Mahfud MD.

Di mana di dalam akun Twitternya, mahfud memberikan pemahaman kepada publik agar tidak salah melihat konteks.

Dikatakan Mahfud, penangkapan 3 (tiga) terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri dimana salah satunya adalah anggota Komisi Fatwa MUI tidak bisa dijadikan labelisasi bahwa MUI salah secara kelembagaan.

“Terkait dengan penangkapan 3 terduga teroris yang melibatkan oknum MUI mari jangan berpikir bahwa MUI perlu dibubarkan,” kata Mahfud.

Begitu juga tentang perspektif, bahwa seolah Polri melalui Densus 88 memusuhi ulama karena menangkap terduga teroris. Terlebih lagi, adanya narasi desakan pembubaran Densus 88 juga merupakan cara berpikir yang salah.

“Dan jangan memprovokasi mengatakan bahwa Pemerintah via Densus 88 menyerang MUI. Itu semua provokasi yang bersumber dari khayalan, bukan dari pemahaman atas peristiwa,” ujarnya.

Konteks di dalam kasus 3 terduga teroris ini ada pada titik dimana negara sangat memerangi terorisme, bukan sedang merusak marwah sebuah lembaga tertentu.

“Penangkapan oknum MUI sebagai terduga teroris, jangan diartikan aparat menyerang wibawa MUI,” tegasnya.

Mahfud menyampaikan, bahwa negara ingin memastikan tidak ada gerakan apalagi sampai memicu insiden terorisme. Sehingga jika ada seseorang atau kelompok yang melakukan gerakan yang bisa dikategorikan sebagai ancaman terorisme bisa ditangkap di manapun dan kapanpun, bahkan tanpa memandang latar belakang seseorang tersebut. Terlebih lagi ada bukti-bukti kuat tentang gerakan dan afiliasinya dengan kelompok teror itu.

“Teroris bisa ditangkap di manapun, di hutan, mall, rumah, gereja, masjid, dan lain-lain. Kalau aparat diam dan terjadi sesuatu bisa dituding kecolongan. Akan ada proses hukum dan pembuktian secara terbuka,” paparnya.