JAKARTA, HOLOPIS.COM Rencana perekrutan 57 orang eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapatkan kritikan dari banyak pihak, salah satunya adalah akademisi dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Umbu Rauta.

Dalam pendapatnya, ia menilai seharusnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus mencermati lebih mendalam, sehingga langkahnya bisa sejalan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

“Terutama dalam konteks penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik maupun perwujudan prinsip negara hukum,” kata Umbu kepada wartawan, Rabu (17/11).

Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum (FH) UKSW tersebut menilai, bahwa ada dua pertimbangan pokok yang melandasi perlunya pencermatan lebih mendalam terhadap rencana perekrutan oleh Polri.

Pertama, baik KPK maupun Polri adalah institusi kenegaraan yang menjalankan fungsi pemerintahan, utamanya fungsi penegakan hukum. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengelolaan ASN, baik di KPK dan Polri yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.

“Sehingga, ketika 57 orang eks pegawai KPK tidak memenuhi syarat peralihan sebagai ASN, baik menurut Pasal 62 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 96 dan 97 UU ASN, PP maupun Perka KPK Nomor 1 Tahun 2021, maka dengan sendirinya ketentuan yang sama akan diterapkan di institusi Polri,” ujarnya.

“Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan “terhadap pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian”,” papar Umbu.

umbu rauta
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum (FH) UKSW, Umbu Rauta.

Kedua, lanjut dia, menggambarkan standar ganda atau potensial diskriminatif dalam pengadaan ASN di berbagai institusi pemerintah maupun lembaga. Secara faktual, diketahui bersama bahwa masih banyak guru, tenaga kesehatan, atau pegawai honorer lainnya yang cukup lama berbakti dengan statusnya masing-masing, juga gagal dalam seleksi untuk menjadi ASN.

“Apakah sebagai PNS atau PPPK, namun tidak ada ruang atau peluang untuk dipijaki sebagaimana rencana perekrutan 57 eks pegawai KPK oleh Polri,” katanya.

Dikatakannya, hal lain yang patut menjadi pertimbangan oleh Polri yaitu adanya putusan MA dan MK, yang secara tersirat menyatakan legalitas dan konstitusional produk hukum (baik Perka KPK Nomoe 1 Tahun 2021 maupun Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU No 19 Tahun 2019), yang dijadikan dasar tindakan oleh KPK dalam melakukan “alih status” pegawai KPK menjadi pegawai ASN. Putusan dimaksud yaitu: Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XIX/2021 telah menolak permohonan pengujian Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU No. 19 tahun 2019.

“Kedua, Putusan Mahkamah Agung Nomor 26 P/HUM/2021 yang menolak gugatan uji materiil terhadap Perkom KPK No 1 Tahun 2021 yang memuat tentang Tes Wawasan Kebangsaan,” pungkasnya.