JAKARTA, HOLOPIS.COM – Indonesia tengah mendorong pencapaian konsensus global terkait perpajakan ekonomi digital dalam naungan koordinasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Pengamat Pajak DDTC Fiscal Research Bawono Kristiaji menyatakan tantangan utama dalam perusahaan multinasional terhadap aspek pajak adalah pengoperasian yang secara internasional.

“Ketika beroperasi secara internasional, yang bisa atau ada kemungkinan bahwa mereka memanfaatkan perbedaan sistem pajak antara negara. Dimana kita tahu bahwa kalau kita bicara di seluruh negara di dunia ini memang ada negara- negara yang memiliki skema provincial taxes rezim pastinya seperti itu. Jadi disitu bisa saja tarifnya lebih rendah atau juga skema- skema seperti juga insentif atau juga insentif yang sebenernya menarik artifisial provit,” kata Bawono, Senin (15/11).

Bawono mengatakan jika membahas secara detail mengenai perusahaan multinasional yang berbasis digital, spesifiknya adalah pertama bagaimana memastikan hak pemajakan dari masing-masing sumber negara.

“Artinya adalah bahwa ketika kita bicara tentang perusahaan digital, ini adalah perusahaan yang bisa saja memperoleh suatu penghasilan dari yurisdiksi tertentu tanpa dia harus mendirikan suatu BUT (Bentuk Usaha Tetap). Dimana kalau kita bicara tentang BUT singkatnya ini adalah untuk memastikan hak pemajakan dari negara tersebut,” ujar Bawono.

Ketika perusahaan digital telah masuk dan terdaftar atau mendirikan BUT, ada persoalan mengenai alokasi labanya.

“Penghasilan yang akan jadi labanya perusahaan digital tersebut dan dipajaki disuatu yurisdiksi,” kata Bawono.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyerukan pentingnya reformasi perpajakan internasional yang lebih adil.

Hal ini dinilai penting karena guna meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi untuk mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Penerapan pajak digital diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi pesaing pengusaha.