JAKARTA, HOLOPIS.COM – Akademisi dari President University, Muhammad AS Hikam mengatakan, bahwa salah satu ancaman eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), salah satunya adalah paham takviri.
Karena paham takviri ini adalah salah satu cikal bakal munculnya paham dan gerakan radikal dan ekstremis yang menggunakan “baju” Islam untuk melegitimasi ruang gerak mereka.
“Hemat saya, dengan terkuaknya kasus infiltrasi kelompok jihadi takviri seperti JI ke dalam organisasi seperti MUI ini, merupakan indikasi bahwa radikalisme dan ekstremisme berkedok agama masih menjadi salah satu ancaman eksistensial bagi NKRI,” kata Hikam, Rabu (17/11).
Persoalan takviri ini menurut Hikam bisa saja tidak hanya terjadi di MUI saja, khususnya pasca ditangkapnya anggota Komisi Fatwa MUI Pusat Zain An-Najah. Akan tetapi bisa saja terjadi di organisasi-organisasi Islam lainnya. Inilah kata Hikam yang perlu diwaspadai bersama.
“Apa yang terjadi di MUI bisa juga terjadi di ormas keagamaan (Islam) lain sehingga harus menjadi semacam peringatan dini,” ujarnya.
Pun demikian, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) era pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut menegaskan bahwa asumsi tersebut tidak boleh membuat publik mudah melakukan stigmatisasi terhadap umat Islam secara keseluruhan.
“Walaupun tidak boleh menjadi alat stigmatisasi terhadap ummat Islam baik secara keseluruhan maupun sebagian,” tegasnya.
Aparat patuhi protap
Di sisi lain, Hikam meyakini bahwa para aparat penegak hukum termasuk Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) Mabes Polri profesional dalam menjalankan tugasnya, yakni dengan tetap mematuhi prosedur tetap (protap) yang ada.
“Saya yakin aparat gakkum (penegak hukum) dan kamnas, wabil khusus, Densus 88 di negeri ini sudah memiliki dan berusaha selalu konsisten dalam menerapkan protap yang bisa dipertanggungjawabkan secara legal, etik dan bahkan politik dalam bekerja sebagai pelaksaan dan pelaksana amanat konstitusi,” tuturnya.
Ia pun menyarankan agar seluruh masyarakat Indonesia menghormati proses hukum yang berjalan saja.
“Proses hukum masih berlangsung dalam kasus di MUI ini, dan kita sebagai warganegara RI bisa saja beropini namun tetap berdasar pada asas yang berlaku,” pungkasnya.