JAKARTA, HOLOPIS.COM Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta menilai bahwa semua pihak seharusnya waspada dengan berbagai propaganda kelompok teroris.

Apalagi narasi-narasi yang dikampanyekan kelompok tersebut sebenarnya bukan tentang ajaran agama, melainkan tentang sebuah wacana perubahan pada sistem tertentu. Dan narasi ini menurut Stanislaus cukup efektif untuk menjaring minat generasi bangsa Indonesia.

“Mereka (kelompok teroris) tidak mengajarkan agama, tetapi (mempropagandakan) perubahan,” kata Stanislaus beberapa waktu yang lalu.

Dengan narasi perubahan sebuah sistem tertentu, salah satunya adalah sistem pemerintahan sebuah negara, para anak muda mudah sekali disusupi pemikirannya. Mereka didoktrin agar bangga menjadi bagian dari upaya perubahan kelompok tersebut.

“Bagaimana anak muda terlibat pada perubahan dunia, mereka (generasi mueda) tertarik dengan hal itu,” ujarnya.

Literasi ini penting untuk disampaikan menurut Stanislaus, karena faktanya orang-orang yang terpapar radikalisme dan sampai bersedia bergabung dengan kelompok teroris ternyata lintas agama.

Dalam pengalamannya mengamati ruang gerak teroris, Stanislaus mengaku pernah mendapatkan sebuah pengakuan dari salah satu orang yang terpapar kelompok radikal ISIS walaupun ia pemeluk agama Katolik.

“Saya mendapatkan pengakuan yang mengejutkan dari seorang remaja, dia menemui saya kemudian dia bilang ‘saya bergabung dengan ISIS’, dia mengatakan di suatu kota di Sumatera. ‘Saya bergabung selama enam bulan, saya didoktrin bahkan saya tertarik ingin pergi ke Suriah’. Tapi akhirnya dia sadar dan kembali (ke pangkuan NKRI),” cerita Stanilaus.

“Masalahnya saya Katolik mas,” imbuhnya sembari menirukan ucapan mantan korban doktrin teroris itu.

Informasi ini yang sempat membuat Stanislaus terkaget-kaget mengapa ada umat agama lain sampai tertarik dengan kelompok ISIS yang menggembor-gemborkan propaganda agama Islam untuk berupaya melegitimasi gerakannya.