JAKARTA, HOLOPIS.COM – Sidang Tahunan Keenam Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Kementerian Keuangan menyerukan pentingnya dukungan AIIB untuk diarahkan pada pembiayaan perubahan iklim yang inovatif dalam kebijakan International.

“Pembiayaan perubahan iklim merupakan langkah yang harus dilakukan saat ini oleh semua negara termasuk Indonesia sebagai negara berkembang. Namun, negara berkembang harus diberikan fleksibilitas dan tidak dipatok dengan standar yang sama dengan negara maju mengingat perbedaan kapasitas fiskal yang dimiliki”, ucap Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati sebagai Dewan Gubernur AIIB.

AIIB saat ini telah memiliki 103 anggota yang tersebar di enam benua dan telah menyalurkan pendanaan sebesar USD 28 miliar untuk pembangunan infrastruktur dan konektivitas negara di Kawasan Asia. Dalam penanganan pandemi, AIIB akan tetap mendukung negara anggota dan memobilisasi pembiayaan dari sektor swasta dalam mencapai kegiatan prioritas tematik pasca pandemi Covid-19. Selain itu, AIIB juga mendukung pendanaan kegiatan prioritas aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bagi negara anggota serta memobilisasi pembiayaan swasta agar sesuai dengan prinsip environmental, social, and governance (ESG).

Dalam 2 tahun terakhir, AIIB memfokuskan kegiatan investasinya ke arah respons terhadap pandemi dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan. AIIB mengalokasikan sebesar USD2,899 juta untuk Indonesia yang dibagi menjadi dana COVID-19 Crisis Recovery Facility (CRF) hingga April 2022 sebesar USD1,500 juta dan untuk infrastruktur sebesar USD1,399 juta. Melalui kerja sama dengan AIIB, Kementerian Keuangan ke depannya akan berupaya memperkuat investasi ke infrastruktur berkelanjutan.

“Terkait dengan transisi menuju ekonomi rendah karbon secara global, dimensi ekonomi dan moral dari transisi ini perlu diterjemahkan pada prinsip hukum dan peraturan. Prinsip-prinsip ini kemudian perlu kita observasi. Negara maju mempunyai kewajiban untuk membantu di negara berkembang dalam melawan perubahan iklim dan transisi untuk menurunkan emisi dengan proses transisi adil dan terjangkau (just and affordable transition), Tegas Menkeu.

Melalui program penghentian PLTU batubara untuk bergeser ke energi terbarukan membutuhkan investasi yang besar. “Kita membuka diri untuk bekerja sama dengan pihak-pihak yang tertarik, termasuk AIIB, untuk mereplikasi, meningkatkan, dan menyukseskan instrumen transisi energi ini”‘ tutup Sri Mulyani.