JAKARTA, HOLOPIS.COM – Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora, Fahri Hamzah menyinggung para kelompok partai oposisi di DPR RI yang tampak seperti menjalin kongkalikong sendiri untuk bersikap berbeda dengan pemerintahan yang sah. Sayangnya, menurut Fahri, kelompok tersebut justru membiarkan masyarakatnya saling sikut-sikutan sendiri.
“Kami rakyat sebenarnya pengen nonton saja sesekali, malam-malam atau pagi-pagi, sebuah panggung politik yang seru dan mencerdaskan, juga menyehatkan kehidupan dan perekonomian. Tapi sayang semua diam, menyebut diri oposisi tapi ngomel gak karuan. Akhirnya kami dipaksa ikut pertengkaran,” kata Fahri Hamzah dalam blog pribadinya yang dikutip oleh Holopis.com, Jumat (3/8).
Menurut mantan politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, seharusnya rakyat Indonesia beristirahat untuk saling bertengkar dalam urusan pilihan politik praktis, khususnya pasca Pilpres 2019 lalu.
“Rakyat harusnya berhenti berpolitik dan gesek-gesekan setelah pemilu dan nyoblos. Tapi kenapa terus terjadi sampai rakyat gak bisa hidup tenang?,” ujarnya.
Sangat salah kata Fahri, ketika antar rakyat justru saling bertengkar di dalam urusan politik kekuasaan. Jika memang ada upaya check and balances, maka seharusnya tanggungjawab itu ada di DPR sebagai lembaga mitra kerja pemerintah, khususnya mereka yang menyatakan diri sebagai oposisi.
“Kita rakyat tidak harus bertengkar pasca pencoblosan. Politik seharusnya kembali normal setelah masa kampanye. Biar mereka, terutama yang menyebut diri partai oposisi yang bertengkar melawan eksekutif dan pendukungnya, bukan kita. Mereka enak berantem dapat duit, lah kita?,” tandasnya.
Mantan wakil ketua DPR RI ini meminta agar kelompok yang menyebut dirinya sebagai partai opisisi agar lebih menunjukkan jenis kelamin politiknya secara gamblang, jika memang melakukan kontrol terhadap pemerintahan maka produk politiknya bukan hanya sekedar imbauan semata di lisan, melainkan menjalankan secara utuh praktik legislasinya.
“Ayo jawab, Siapa diantara oposan ini yang berani bilang dia merdeka?. Modalnya, “tinggal kami yang oposisi”. Faktanya mana? Bisanya menghimbau, menyarankan, menuntut, dll. Gagalkan dong! Hentikan! Tanya, interpelasi, investigasi, bila perlu jatuhkan!,” pungkasnya.